Skip to main content

Ukhuwah


Kau datang dan menempati ruang kosong di bangku sebelah tepat disampingku. Senyum jenaka yang menghiasi bibirmu menyapaku, aku termangu.
“Apa kabar, saudara?”, katamu
Aku tersenyum ke arahmu, mengamati mata berbinar itu, lama.
“aku baik..., bagaimana denganmu?”
“Alhamdulillah, tidak ada yang bisa mewakili kabarku selain Alhamdulillah”. Senyum yang masih sama tak mampu buatku bertanya lagi.
“ya... Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah aku masih bisa melihatmu lagi.”
“oke saudara, kemana kita akan pergi menemukan ‘orang yang sedang menunggu hidayah’ kali ini?”
“rute biasa. Tetapi kali ini dengan ekstra MaBa”
“oke! Mari berangkat...”
“ya...”
Melati, kau selalu seperti ini. Tak memberi kesempatan untukku menanyakan apa yang lagi terjadi di selang waktu-waktu kita tak bertemu. Tak memberi waktu bagiku untuk mengusap air matamu atau menenangkan risaunya batinmu.
Bahkan segurat gelisah tak kutemukan di wajahmu yang selalu berbinar kala bersama dengan saudara-saudaramu, saudara yang direkatkan dengan jalinan ukhuwah islamiyah.
***
“jangan hubungi saya di no itu lagi, za.”
“kenapa?”, tanyaku tanpa menaruh curiga
“hape saya sudah kembali sama yang punya”
“siapa memangnya yang punya? Bukan punyamu kah?”
“iya, itu punya ayah saya. Hape itu dibeli ayah saya dengan uangnya. Jadi hape itu miliknya”
“jadi sekarang pake nomer yang mana?”
“belum tahu, za. Kamu punya dua hape kan? Yang satu itu saya pinjam dulu boleh?”
“iya, boleh.”
“jazakillah khair, nanti saya sms nomer baru saya”
aku tak tahu kalau waktu itu hape mu sedang disita. Aku baru tahu ketika seorang teman menelpon ke nomermu yang dulu dan diterima dengan pertanyaan menuduh dari Ayahmu. Bahkan meminjam hape milikku kau rahasiakan dari Ayahmu.
Aku tak menaruh curiga ketika kau mendadak pindah dari kotsan dan memilih pulang-pergi kampus-rumah yang jaraknya beratus-ratus kilo. Tak berprasangka ketika melihat lebam di pipimu yang terkena bogem mentah dari Ayahmu, tak bertanya lebih jauh ketika waktumu di kampus dibatasi waktu dan harus diantar-jemput oleh sopir Ayahmu. Aku benar-benar tak tahu... Dan aku merasa bersalah karena tak jeli mengenalimu, merasa jalinan ukhuwah ini belum lekat benar hingga persoalanmu di rumah tidak kau bagi padaku.
Rupanya hawa panas penolakan di rumah mu mulai terasa waktu pileg (pemilihan legislatif) kemarin. Pemilu dalam sistem demokrasi yang memilih anggota legislatif untuk mengambil Hak Allah sebagai pembuat hukum. Sebagaimana lantang kita serukan keharaman memilih pemimpin sekuler yang akan menerapkan hukum-hukum sekuler dan melanggengkan sistem kapitalisme jahiliyah pada teman-teman mahasiswa di kampus.
Aku tahu kau jijik sejijik-jijiknya menginjakkan kakimu ke bilik suara sehingga dengan tegas kau katakan tidak pada Ayahmu.
Ayahmu terauma hebat, ia adalah saksi terbantainya kaum PKI (partai komunis) yang berontak pada negara. ia telah saksikan seperti apa akhir hayat para pemberontak: terbuang ke laut, dibantai tanpa ampun dan dilenyapkan dari muka bumi katulistiwa. Ia melihat bibit-bibit berontak negara dalam dirimu, setelah kau merombak cara berpakaianmu dengan pakaian takwa, setelah kau mengenal islam kaffah. Ayahmu enggan mendengarkan penjelasanmu. Di matanya, kau harus di awasi.
Ayahmu tak faham, bahwa islam bukanlah komunis. Islam petunjuk dari sang kuasa yang karenanya kebenaran bisa terbedakan dengan kebatilan seperti berbedanya cahaya dan kegelapan. Seperti berbedanya siang dan malam. Itulah yang kau dapat dari halqoh ke halqoh. Makin mantap kepribadianmu dengan islam, dan makin gencar kau mendakwahkan islam.
***
“Melati? Kemana dia?”, tanyaku melihat satu sosok tak ku temukan diantara wajah-wajah yang biasa mengitariku.
“tidak bisa keluar, ukhti. Melati tak diizinkan keluar rumah”
“Masya Allah... Bagaimana dengan perkuliahannya? Bukannya dia harus kuliah?”
“melihat kondisinya sepertinya dia tidak lanjut kuliah”
“lho? Bukannya Melati sudah bayar uang SPP? Bukankah orangtuanya yang memberinya uang untuk tetap kuliah?”
“tidak, Melati bayar SPP atas biayanya sendiri. Ia mengumpulkan uang dari tabungannya, dari uang yang seharusnya untuk beli baju lebaran dan pinjam sana-sini.”
“itu berarti ayahnya menyetop membayari kuliahnya. Karena ayahnya menganggap Melati ke kampus hanya dididik jadi pemberontak.”
Melati, kau pernah berkata bahwa jalan kebanaran tak selancar jalan tol. Pasti ada onak dan duri yang akan kita temui. Aku tak berhasil menakar seberapa sakit duri itu sedang mencap di telapak kakimu saat melihat wajah mu yang selalu berbinar kala bertemu dengan saudara-saudara mu, dan aku tak pernah mendengar keluhan dari lisanmu tentang seberapa tajamnya duri itu. Dalam ingatanku kau selalu berwajah cerah, menjalankan amanah dakwah tanpa lelah, menyelesaikan masalah orang lain seakan-akan kau tak punya masalah.
Kini, meski kita tak lagi saling bertemu, aku akan ingat selalu pesan darimu “Ukhuwah itu bukan pada indahnya pertemuan, melainkan pada ingatan seseorang terhadap saudaranya dalam do’anya” (Imam Al-Ghazali).

Dimuat dalam blog LDK Fosdik Al-Umdah UNM. 2014

Comments

Popular posts from this blog

TANYA JAWAB SEPUTAR MEA (MASYARAKAT EKONOMI ASEAN)

1.     Apakah MEA? Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah dicanangkan dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area ) pada tahun 1992.   Pasar bebas ASEAN adalah gagasan World Trade Organization (WTO ) yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang meniscayakan aliran barang, jasa, investasi, modal dan buruh terampil.   Tentu saja yang mampu memanfaatkan akses terbuka itu adalah negara, perusahaan dan individu yang memiliki daya saing tinggi.  2.     Apa sajakah potensi ASEAN? Secara geografis, negara-negara di Asia Tenggara memiliki karakteristik wilayah fisik yang beranekaragam. Negara-negara ASEAN terdiri dari negara kepulauan yang luas, semenanjung, daratan-benua, tidak-berpantai ( landlocked ) sampai negara kota. Ditinjau berdasarkan luas wilayah, negara-negara di kawasan tersebut mempunyai rentang dari negara kepulauan seperti Indonesia, sampai negara-kota seperti Singapura.

3 Pertanyaan Besar dalam Hidup (Uqdatul Kubra)

Ada 3 Pertanyaan Besar yang harus bisa dijawab oleh orang yang hidup. 3 pertanyaan ini seperti simpul besar, yang apabila ini bisa dijawab dengan benar maka ia akan bisa menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan lain dan menyelesaikan masalah-masalah hidupnya dengan benar. jawaban yang benar ini akan membuat kita merasakan ketenangan hati, terpuaskan akal kita dan sesuai dengan fitrah manusia. pertanyaannya yaitu: DARI MANA MANUSIA BERASAL?, UNTUK APA MANUSIA HIDUP DI DUNIA INI ?dan AKAN KEMANA KITA SETELAH KEHIDUPAN INI? coba deh kalian jawab. apa jawaban kalian. tulisan ini akan saya lanjutkan dengan jawaban yg insya Allah memuaskan.

Filosofi Lilin : Menerangi yang Lain tetapi Tidak Diri Sendiri

gambar dari https://billditewig.files.wordpress.com/2015/02/candle.jpg Janganlah menjadi seperti lilin, ia memberi cahaya bagi sekitarnya, tetapi membinasakan dirinya  sendiri -Izzah Haq-    pernah dengar kalimat seperti ini? "orang itu kalau menasehati bagus, tetapi sendirinya tidak melaksanakan". Atau yang semisal ,"dia selalu mengkritik kesalahan orang lain tetapi diri sendiri tidak diperhatikan".  Terkadang ada orang yang bijak dalam bertutur kata, lisannya adalah lisan seorang pengemban dakwah tetapi tingkah lakunya amat jauh dari apa yang diucapkannya. Ia mampu menasehati orang lain untuk berubah menjadi lebih baik, tetapi nasehatnya tidak ia laksanakan sendiri. Tidak Selaras antara perkataan dan perbuatan. Demikian kita bisa menyimpulkan, Berkaitan dengan ini Allah SWT menegur dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, diantaranya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu ker