Kau datang dan menempati ruang
kosong di bangku sebelah tepat disampingku. Senyum jenaka yang menghiasi
bibirmu menyapaku, aku termangu.
“Apa kabar, saudara?”, katamu
Aku tersenyum ke arahmu, mengamati
mata berbinar itu, lama.
“aku baik..., bagaimana denganmu?”
“Alhamdulillah, tidak ada yang
bisa mewakili kabarku selain Alhamdulillah”. Senyum yang masih sama tak mampu
buatku bertanya lagi.
“ya... Alhamdulillah. Segala puji
bagi Allah aku masih bisa melihatmu lagi.”
“oke saudara, kemana kita akan
pergi menemukan ‘orang yang sedang menunggu hidayah’ kali ini?”
“rute biasa. Tetapi kali ini
dengan ekstra MaBa”
“oke! Mari berangkat...”
“ya...”
Melati, kau selalu seperti ini.
Tak memberi kesempatan untukku menanyakan apa yang lagi terjadi di selang
waktu-waktu kita tak bertemu. Tak memberi waktu bagiku untuk mengusap air
matamu atau menenangkan risaunya batinmu.
Bahkan segurat gelisah tak
kutemukan di wajahmu yang selalu berbinar kala bersama dengan
saudara-saudaramu, saudara yang direkatkan dengan jalinan ukhuwah islamiyah.
***
“jangan hubungi saya di no itu
lagi, za.”
“kenapa?”, tanyaku tanpa menaruh
curiga
“hape saya sudah kembali sama yang
punya”
“siapa memangnya yang punya? Bukan
punyamu kah?”
“iya, itu punya ayah saya. Hape
itu dibeli ayah saya dengan uangnya. Jadi hape itu miliknya”
“jadi sekarang pake nomer yang
mana?”
“belum tahu, za. Kamu punya dua
hape kan? Yang satu itu saya pinjam dulu boleh?”
“iya, boleh.”
“jazakillah khair, nanti saya sms
nomer baru saya”
aku tak tahu kalau waktu itu hape
mu sedang disita. Aku baru tahu ketika seorang teman menelpon ke nomermu yang
dulu dan diterima dengan pertanyaan menuduh dari Ayahmu. Bahkan meminjam hape
milikku kau rahasiakan dari Ayahmu.
Aku tak menaruh curiga ketika kau
mendadak pindah dari kotsan dan memilih pulang-pergi kampus-rumah yang jaraknya
beratus-ratus kilo. Tak berprasangka ketika melihat lebam di pipimu yang
terkena bogem mentah dari Ayahmu, tak bertanya lebih jauh ketika waktumu di
kampus dibatasi waktu dan harus diantar-jemput oleh sopir Ayahmu. Aku
benar-benar tak tahu... Dan aku merasa bersalah karena tak jeli mengenalimu,
merasa jalinan ukhuwah ini belum lekat benar hingga persoalanmu di rumah tidak
kau bagi padaku.
Rupanya hawa panas penolakan di
rumah mu mulai terasa waktu pileg (pemilihan legislatif) kemarin. Pemilu dalam
sistem demokrasi yang memilih anggota legislatif untuk mengambil Hak Allah
sebagai pembuat hukum. Sebagaimana lantang kita serukan keharaman memilih
pemimpin sekuler yang akan menerapkan hukum-hukum sekuler dan melanggengkan
sistem kapitalisme jahiliyah pada teman-teman mahasiswa di kampus.
Aku tahu kau jijik
sejijik-jijiknya menginjakkan kakimu ke bilik suara sehingga dengan tegas kau
katakan tidak pada Ayahmu.
Ayahmu terauma hebat, ia adalah
saksi terbantainya kaum PKI (partai komunis) yang berontak pada negara. ia
telah saksikan seperti apa akhir hayat para pemberontak: terbuang ke laut,
dibantai tanpa ampun dan dilenyapkan dari muka bumi katulistiwa. Ia melihat
bibit-bibit berontak negara dalam dirimu, setelah kau merombak cara
berpakaianmu dengan pakaian takwa, setelah kau mengenal islam kaffah. Ayahmu
enggan mendengarkan penjelasanmu. Di matanya, kau harus di awasi.
Ayahmu tak faham, bahwa islam
bukanlah komunis. Islam petunjuk dari sang kuasa yang karenanya kebenaran bisa
terbedakan dengan kebatilan seperti berbedanya cahaya dan kegelapan. Seperti
berbedanya siang dan malam. Itulah yang kau dapat dari halqoh ke halqoh. Makin
mantap kepribadianmu dengan islam, dan makin gencar kau mendakwahkan islam.
***
“Melati? Kemana dia?”, tanyaku
melihat satu sosok tak ku temukan diantara wajah-wajah yang biasa mengitariku.
“tidak bisa keluar, ukhti. Melati
tak diizinkan keluar rumah”
“Masya Allah... Bagaimana dengan
perkuliahannya? Bukannya dia harus kuliah?”
“melihat kondisinya sepertinya dia
tidak lanjut kuliah”
“lho? Bukannya Melati sudah bayar
uang SPP? Bukankah orangtuanya yang memberinya uang untuk tetap kuliah?”
“tidak, Melati bayar SPP atas
biayanya sendiri. Ia mengumpulkan uang dari tabungannya, dari uang yang
seharusnya untuk beli baju lebaran dan pinjam sana-sini.”
“itu berarti ayahnya menyetop
membayari kuliahnya. Karena ayahnya menganggap Melati ke kampus hanya dididik
jadi pemberontak.”
Melati, kau pernah berkata bahwa
jalan kebanaran tak selancar jalan tol. Pasti ada onak dan duri yang akan kita
temui. Aku tak berhasil menakar seberapa sakit duri itu sedang mencap di
telapak kakimu saat melihat wajah mu yang selalu berbinar kala bertemu dengan
saudara-saudara mu, dan aku tak pernah mendengar keluhan dari lisanmu tentang
seberapa tajamnya duri itu. Dalam ingatanku kau selalu berwajah cerah,
menjalankan amanah dakwah tanpa lelah, menyelesaikan masalah orang lain
seakan-akan kau tak punya masalah.
Kini, meski kita tak lagi saling
bertemu, aku akan ingat selalu pesan darimu “Ukhuwah itu bukan pada indahnya
pertemuan, melainkan pada ingatan seseorang terhadap saudaranya dalam do’anya”
(Imam Al-Ghazali).
Dimuat dalam blog LDK Fosdik Al-Umdah UNM. 2014
Comments
Post a Comment