Nura adalah salah satu jenis manusia yang tak banyak berkata. setiap dikeramaian Nura tak diketahui hadirnya, ia tak suka menonjolkan diri, ia tak dicari-cari. ia wanita yang biasa, terlalu biasa. ia tak spesial. disegala kesempatan Nura menempatkan dirinya sebagai 'pemain pendukung', ya, seperti pemain pendukung dalam sebuah film, keberadaannya tak terlalu penting.
"Assalamu'alaykum, sendiri disini? menunggu jemputan lagi?", Nura menyapaku setelah selesai dari sebuah majelis.
"wa'alaykumsalam, iya nih. kok tahu?", tanyaku balik. menatap senyumnya yang sederhana.
"iya, kan aku biasa lihat Rina menunggu disini."
"kalu Nura sendiri kenapa tidak langsung pulang? tunggu jemputan juga?"
"tidak juga, aku nunggu jemputannya Rina menjemput Rina."
aku terkekeh. "mau menemani aku maksudnya?, oalah..."
percakapan pun berlanjut, tanpa terasa. ringan saja, tetapi aku menikmati bahasa sederhana dan perhatian-perhatian kecilnya yang baru kusadari.
"Rina ini aku punya jaket. pakai saja dulu, Rina kan naik motor, jadi anginnya pasti lebih kencang. apalagi langit sedang mendung.", katanya sambil menyodoriku jaket tebalnya.
"ah, kamu sajalah. barangkali kamu lebih membutuhkan."
"tak apa, kotsan ku kan dekat dari kampus. beda sama kamu yang rumahnya jauh. pakai saja, kembalikannya bisa kapan-kapan.", tolaknya halus.
"wah, jazakillah ya Nura... aku pergi dulu", pamitku lalu menjabat tangannya sebelum aku berbalik meninggalkannya.
*
Nura, akhwat sederhana yang kesederhanaannya tak terlalu istimewa.setidaknya begitulah pikiranku di awal. tetapi semakin lama aku memperhatikannya, kesederhanaanya itu malah membuatnya istimewa. bagi yang sekali bertemu dengannya barangkali Nura tak meninggalkan kesan. tetapi jika sering bergaul dan berbagi cerita dengannya, kau akan mengetahuinya.
Nura memang jarang angkat suara dalam forum, tetapi jarang sekali ia tak menghadiri majelis ilmu. bahkan dikala libur ia mengusahakan untuk hadir. bahkan jika ia tak sempat berlama-lama di kampung halaman, ia akan segera kembali dan tak melewatkan forum-forum tuk menimba ilmu.
jika kita bertanya kepadanya, ia akan menjawabnya dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami dan tak bosan-bosan mendengarkan pembicaraannya.
ia yang ternyata dalam diamnya memperhtikan kondisi saudarinya, care dengan keadaan saudarinya. duduk di tengah kerumunan atau paling belakang dalam majelis. tsiqoh jika diberi amanah, dan tidak ingkar janji.
aku menyadari, aktualisasi diriku tinggi sekali. bahkan bisa jadi ada bangga menyelip dalam diri. aku ingin dikata singa podium, ingin namanya dikenal sebagai pejuang dan pendakwah, ingin memperluas link, menambah banyak kenalan, tetapi sayang, tak memuliakan kenalan-kenalan yang lebih dulu dikenal. barang kali nyaring berbunyi namun tanpa isi, barangkali berbicara lima menit berapi-api namun tak lagi seru diikuti hingga akhir diskusi.
kau tahu, bahkan sebesar apapun keinginanmu tuk menjadi tokoh utama dalam sebuah cerita, kau masih tetap membutuhkan pemain pendukung. yang tanpanya cerita takkan jadi sempurna.
Nura, atau kawan-kawan lain mungkin hanya figuran dalam kisah hidup yang kau lakoni. tetapi penting untuk belajar dari keberadaan mereka, memetik hikmah dari mereka, bahkan untuk mereka yang jarang berbicara.
"Assalamu'alaykum, sendiri disini? menunggu jemputan lagi?", Nura menyapaku setelah selesai dari sebuah majelis.
"wa'alaykumsalam, iya nih. kok tahu?", tanyaku balik. menatap senyumnya yang sederhana.
"iya, kan aku biasa lihat Rina menunggu disini."
"kalu Nura sendiri kenapa tidak langsung pulang? tunggu jemputan juga?"
"tidak juga, aku nunggu jemputannya Rina menjemput Rina."
aku terkekeh. "mau menemani aku maksudnya?, oalah..."
percakapan pun berlanjut, tanpa terasa. ringan saja, tetapi aku menikmati bahasa sederhana dan perhatian-perhatian kecilnya yang baru kusadari.
"Rina ini aku punya jaket. pakai saja dulu, Rina kan naik motor, jadi anginnya pasti lebih kencang. apalagi langit sedang mendung.", katanya sambil menyodoriku jaket tebalnya.
"ah, kamu sajalah. barangkali kamu lebih membutuhkan."
"tak apa, kotsan ku kan dekat dari kampus. beda sama kamu yang rumahnya jauh. pakai saja, kembalikannya bisa kapan-kapan.", tolaknya halus.
"wah, jazakillah ya Nura... aku pergi dulu", pamitku lalu menjabat tangannya sebelum aku berbalik meninggalkannya.
*
Nura, akhwat sederhana yang kesederhanaannya tak terlalu istimewa.setidaknya begitulah pikiranku di awal. tetapi semakin lama aku memperhatikannya, kesederhanaanya itu malah membuatnya istimewa. bagi yang sekali bertemu dengannya barangkali Nura tak meninggalkan kesan. tetapi jika sering bergaul dan berbagi cerita dengannya, kau akan mengetahuinya.
Nura memang jarang angkat suara dalam forum, tetapi jarang sekali ia tak menghadiri majelis ilmu. bahkan dikala libur ia mengusahakan untuk hadir. bahkan jika ia tak sempat berlama-lama di kampung halaman, ia akan segera kembali dan tak melewatkan forum-forum tuk menimba ilmu.
jika kita bertanya kepadanya, ia akan menjawabnya dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami dan tak bosan-bosan mendengarkan pembicaraannya.
ia yang ternyata dalam diamnya memperhtikan kondisi saudarinya, care dengan keadaan saudarinya. duduk di tengah kerumunan atau paling belakang dalam majelis. tsiqoh jika diberi amanah, dan tidak ingkar janji.
aku menyadari, aktualisasi diriku tinggi sekali. bahkan bisa jadi ada bangga menyelip dalam diri. aku ingin dikata singa podium, ingin namanya dikenal sebagai pejuang dan pendakwah, ingin memperluas link, menambah banyak kenalan, tetapi sayang, tak memuliakan kenalan-kenalan yang lebih dulu dikenal. barang kali nyaring berbunyi namun tanpa isi, barangkali berbicara lima menit berapi-api namun tak lagi seru diikuti hingga akhir diskusi.
kau tahu, bahkan sebesar apapun keinginanmu tuk menjadi tokoh utama dalam sebuah cerita, kau masih tetap membutuhkan pemain pendukung. yang tanpanya cerita takkan jadi sempurna.
Nura, atau kawan-kawan lain mungkin hanya figuran dalam kisah hidup yang kau lakoni. tetapi penting untuk belajar dari keberadaan mereka, memetik hikmah dari mereka, bahkan untuk mereka yang jarang berbicara.
Comments
Post a Comment