“kau tahu, Hana. Aku akan tetap mencintaimu walaupun dunia menghujatku. Karena yang ku tahu, cinta tak pernah salah. Ia datang kepada siapa saja tanpa diminta.”, ucapku sambil menatap hangat wajah Hana sore itu. Kami memandangi senja yang merona dibatas cakrawala. Ada pendar jingga merona membayang di danau Saiko. Pemandangan yang amat disukai Hana. Dan aku selalu menyukai apa yang disukai Hana.
Aku melirik wajah Hana yang terkena pantulan senja. Dan berbisik lirih ditelinganya, mengatakan kepadanya bahwa ku fikir aku takkan pernah jatuh cinta dan merasa damai seperti ini,
”Koi ni ochiru nante koto wa arienai to omotte ta. Konna kimochi ni natta koto wa nai.”
Dan Hana tersenyum. Senyum yang semempesona jingga.
Senyum yang membuat bibirku dengan mudahnya berucap, “kekkon shiyo, ayo kita menikah”.
*
esok paginya aku terbangun mendengar suara pintu di gedor dengan sangat keras.
Dengan hati-hati aku beranjak dari ranjang pengantinku karena tak ingin membangunkan Hana.
“siapa yang bertamu sepagi ini? sungguh tak tahu malu orang ini.”, gerutuku dalam hati. Aku pun membuka pintu yang digedor semakin keras.
“Okaasan, kenapa bisa ada di sini?”, aku terkejut mendapati ibuku di depan pintu. Di genggamannya ada sebuah foto. Aku yakin itulah alasan mengapa ia jauh-jauh datang menemuiku dengan wajah merah padam.
“Makio! Apa yang kau lakukan? Kau sungguh sudah gila!?”, Ibu berteriak di depan wajahku. Aku yakin saat ini wajahku pucat pasi.
“Okaasan, aku… aku…”, belum sempat aku banyak berbicara ibu sudah menerobos masuk ke rumahku dan menerobos kamarku. Aku mengejarnya.
“Okaasan, tolong jangan campuri urusan percintaanku… ini urusanku.”, pintaku memohon padanya.
Ibu tak menggubris kata-kataku, ia menarik selimut ranjangku dan menarik Hana dari sana.
“Okaasan…”, pintaku setengah menjerit.
“Makio! Sadarlah! Kau sungguh sudah gila karena menikahi boneka manusia ini! kau benar-benar sudah tidak waras. Sadarlah Makio… Sadarlah… tak pernah ada manusia yang menikahi boneka”, Ibu berkata histeris dengan air mata yang bercucuran. Matanya memandangku marah. Ibu menyeret Hana dan membawanya pergi.
“Okaasan, tolong jangan… aku mohon…”, aku menangis merapat melihat Hana dibawa pergi dengan mobil Ibu. Seperti orang gila aku mengejar mobil ibu hingga ia lenyap dari mataku.
NB: kisah ini berangkat dari kisah nyata. Kalian tahu kan, cerita beberapa orangyang saking demennya dengan sesuatu (benda-benda seperti bantal, tokoh fiksi, dll), membuat mereka menikahi benda-benda ini. sungguh, saya bukan bermaksud mendukung mereka, saya hanya ingin menunjukkan betapa semakin edannya orang-orang sekarang dengan mengatas namakan cinta. Cinta yang kebablasan dan menyesatkan menurutku.
Comments
Post a Comment