Bagi orang bermata minus seperti saya, keberadaan
kacamata cukup urgen kehadirannya, bukan sekadar sebagai penghias mata. Kacamata
mampu membuat penglihatan saya jauh lebih baik, membuat jelas
pandangan-pandangan yang sebelumnya kabur, membuat saya dapat mengenai wajah
orang, membuat saya dapat membaca papan nama jalan, melihat detil kotoran dan lubang-lubang yang
ada di jalan, dan sebagainya.
Demikian juga pandangan saya dalam menilai
kehidupan. Saya punya kacamata tersendiri untuk memberikan penilaian dan
memandang kejadian yang ada di sekitar.
Sebagai seorang muslim, kita memang harus mengikatkan
diri dengan hukum syara’, menimbang baik-buruknya suatu perbuatan dengan
ketetapan Allah, bukan dengan pertimbangan akal semata, konstitusi, pancasila atau
pendapat ahli-ahli barat. Bukan.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah berkehendak untuk menimpakan musibah atas mereka
karena sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik.” (TQS. Al-Maidah ayat 49)
Karena memilih menjadi seorang muslim berarti
mewajibkan kita harus patuh terhadap rambu-rambu yang telah Allah ‘pasang’. Konsekuensinya,
jika kita melanggar, Allah akan memberikan sanksi. Baik sanksinya di dunia
diberikan melalui tangan seorang qadhi’ atau khalifah, atau sanksinya dibayar
tunai oleh Allah di akhirat. Yang pasti siksaan akhirat beribu-ribu kali lebih ‘sakit’
daripada di dunia yang tak kekal ini.
Orang yang tak menjadikan islam sebagai ideologi atau
pandangan hidupnya ibarat seperti seseorang yang rabun matanya dan tak bisa melihat
apa-apa yang ada disekitarnya dengan jelas. Ia bisa salah mengenali orang bahkan
bisa salah jalan dan tak tau arah. Ia bisa melihat wajah seseorang mulus tetapi
sebenarnya tak begitu mulus. Ia tak mengetahui jalan di depannya berlubang
sehingga terus saja melaju di atasnya. Bahkan untuk seseorang yang tingkat
kerabunannya amat parah, ia laksana orang yang buta. Yang mengerjakan
apa saja sekehendaknya. Tak peduli, apakah Allah Murka kepadanya atau tak
menyukai sikapnya.
Oleh sebab itu, seorang muslim wajib mengenakan ‘kacamata
islam’ ini agar dengan jelas ia bisa melihat sesuatu dan menghukuminya menurut
apa-apa yang ditetapkan Allah.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada
apa yang diturunkan sebelum kamu, mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (TQS. An-Nisa ayat
60).
Comments
Post a Comment