Sungguh Saudaraku, kami sungguh merasa malu dan tak berdaya untuk menolong kalian.
Di sini lumbung-lumbung padi kami selalu penuh dan jarang kekeringan. Sandang pangan sekalipun mahal tetapi kami masih mampu membeli, walaupun semiskin-miskinnya kami, kami masih bisa beroleh setangkup nasi setiap hari, ataupun nasi aking. Alhamdulillah kami masih tetap bisa makan. Bahkan untuk sebagian kami, makanan itu seringnya terbuang.
Negeri kami, walau berutang ke luar negeri karena uang rakyat habis dikorupsi, walau pemimpin kami membodohi kami demi kepentingan perut mereka dan perut korporasi, walau kadang kala kami diterpa banjir dan tanah longsor, walau 50% dari kami masih terkategori ‘miskin’, walau moral generasi seolah tak lagi bisa dikendali, tetapi tetap saja.. tetap saja saudaraku, kami masih bisa hidup aman tanpa perlu takut keluar rumah tertimpa bom atau peluru dari senapan. Bahkan kami masih bebas berwisata dan memanjakan diri ke luar negeri. Sedang negeri kalian dikepung kepentingan. Kalian diboikot hingga makananpun tak bisa masuk ke wilayah kalian. Oh, sungguh… saudara macam apa kami?
Maafkan kami. Jika kami melupakanmu walau sehari.
Maafkan kami, karena disibukkan dengan kepentingan diri sendiri.
Maafkan kami, karena pemimpin negeri muslim pun angkat tangan seakan tak lagi bisa menolong kalian, tak bisa mengusir penjajah dari negeri kalian, tak bisa melenyapkan lapar kalian , tak bisa menghangatkan kalian, bahkan sedikit bersimpati dengan penderitaan kalian. Bahkan lupa berucap ‘innalillahi…’ atas bayaknya yang meninggal diantara kalian.
Apa yang bisa kami perbuat, wahai suriah? Wahai Madaya? Wahai palestina?
Sungguh, kami bukannya tak peduli… kami bukannya tidak peduli…. Ya Allah, saudara macam apa kami ini?
Allah jelas sangat murka kepada kami, saudaraku. Allah pasti sungguh sangat murka.
Air mata kalian menetes setiap hari, perut kalian berhari-hari tak terisi, sedang 1 miliar lebih kami terlena dengan penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati).
Sebagian kami mengumpulkan dana, makanan, pakaian dan obat-obatan pada satu waktu. Tetapi yang kutahu penderitaan kalian berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun tak kunjung usai. Kamipun tak menjamin apakah bantuan yang kami berikan bisa sampai kepadamu. Kami tak tahu.
Sungguh yang kutahu saudaraku. Penderitaan kalian benar-benar akan usai setelah tegaknya satu kepemimpinan islam dibawah satu pemimpin kaum muslim, yang kan mengkomandani tentara untuk mengusir penjajah dari negeri-negeri kalian. Karena untuk melenyapkan penderitaan kalian berarti kami harus menghilangkan sebab derita kalian. Karena negara nation state sekarang membuat kami fokus pada masalah dalam negeri kami saja. Tak lagi menganggap masalah kaum muslim adalah masalah kita bersama, masalah kalian adalah masalah kami juga.
Sebagian kami tengah berjuang mengembalikan satu kepemimpinan islam itu. Kami sedang berjuang. Kamipun menyadari perjuangan kami harus lebih gencar. Agar kalian segera terbebas… seperti dahulu, saat negeri Syam benar-benar damai.
Maaf karena kami membuat kalian menunggu lagi saudaraku.
Dan sungguh, do’a kami tak pernah berhenti untukmu. Semoga Allah mengampuni kami atas kelalaian kami dari menolong kalian segera. Dan semoga Allah menguatkan kalian, menyelamatkan kalian dan membebaskan negeri kalian.
Allah, Tolonglah saudara kami di Suriah, di palestina, di Myanmar, atau dimanapun mereka. Kembalikanlah kepemimpinan islam, dengan tegaknya khilafah islam yang kedua, yang dapat melenyapkan musuh-musuh kaum muslim yang membuat makar-makar/perjanjian-perjanjian dzalim terhadap kami. Ampunilah kami yang lalai dalam berjuang dan yang melupakan saudara kami yang tengah terdzalimi, padahal Rasul kami mengatakan bahwa hancurnya ka’bah lebih baik daripada meninggalnya satu nyawa kaum muslimin.
ket foto: penduduk Madaya memakan daun-daun pohon karena tidak ada lagi yang bisa dimakan. wilayah mereka terkepung. jika mereka hendak keluar, mereka harus membayar sangat mahal (dan kebanyakan mereka tak lagi punya biaya). atau jika mereka mencoba keluar, mereka akan ditembaki.
Comments
Post a Comment