saya menukil kisah ini secara utuh dari hidayatullah.com . sebuah surat dari Madaya, "kenapa tidak ada yang peduli?"
Tetanggaku seorang pria tua, membayar sekitar $3.000 agar dapat keluar dari Madaya dengan aman. Tetapi kebanyakan dari kami tidak mempunyai uang sebesar itu. Kemudian, rezim memperkuat pengepungan mereka di sekitar kota. Kami pun menyaksikan persediaan semakin habis.
***
SEORANG penduduk kota Madaya, Suriah, menceritakan
kehidupan di jurang kelaparan. Amar, seorang sarjana hukum yang berasal
dari kota Madaya, menceritakan kisahnya pada Samya Kullab, Al Jazeera, Senin (01/02/2016).
01 Februari 2016
“Saya lahir di Madaya. Saya hidup di lingkungan sederhana yang indah, dimana semua orang saling mengenal dan saling menyukai. Daerah tempat tinggal kami merupakan tempat pertama yang orang-orang lalui jika ingin menuju pusat kota Madaya.
Selama pengepungan, apa yang kami alami sama seperti apa yang dialami keluarga lain di Madaya. Kami berada dalam perjuangan terus-menerus untuk bertahan hidup. Banyak dari kami yang menghabiskan dua atau tiga hari tanpa makanan. Saya seorang pria dewasa, tetapi saya hanya berbobot kurang dari 50 kg. Kadang-kadang rasanya seolah-olah saya hidup dalam mimpi.
Saya telah melihat anak kecil sekarat karena kelaparan dan merasa tidak berdaya. Saya telah menyaksikan dunia di sekitarku hancur. Orang Madaya tidak memiliki susu, roti ataupun uang. Dan Madaya semakin dingin.
Sebelum PBB masuk ke Madaya beberapa hari yang lalu, satu kilogram gula berharga $300. Saya takut bantuan tidak akan cukup bagi kami bahkan untuk 20 hari. Dan setelah itu apa?
Tetapi biarkan saya memulainya dari 2011, permulaan dari revolusi Suriah. Pada saat itu, saya masih menjadi mahasiswa hukum di Universitas Damaskus. Saya bermimpi untuk mendapat karir yang bagus dan membuat keluargaku bangga.
Pada awalnya, revolusi dimulai dengan serangkaian unjuk rasa: orang-orang meminta kemerdekaan mereka. Beberapa teman dekatku, yang merupakan rekan sesama mahasiswa dan satu universitas ikut serta. Mereka berkorban dengan jujur.
Tapi kemudian rezim yang mengambil alih revolusi, mengubah unjuk rasa damai menjadi pertempuran bersenjata dengan menembak dan membunuh orang yang tidak bersalah.
Beberapa orang di Madaya merasa terpaksa mengangkat senjata dan membela diri mereka. Mereka pikir mereka sedang melindungi kehormatan mereka. Tetapi sekitar bulan November 2014, rezim mulai mengubah siasat mereka; mereka menerapkan kebijakan kelaparan dengan mengepung kota kami dan melancarkan serangan udara dengan bom barel mematikan. Saya melihat seluruh keluarga mati dalam serangan itu.
Selama masa itu, harga makanan mulai meningkat. Karena wilayah kami terletak di dekat perbatasan Lebanon-Suriah, Hizbullah juga bekerja sama dengan rezim Bashar al Assad untuk mengepung kami dari semua sisi, dengan rencana masuk ke kota. Pertempuran dimulai pada awal Juni 2015 di Zabadani, yang merupakan kota sebelah Madaya.
Saat itu, penduduk Zabadani mulai mundur ke Madaya untuk menghindari bombardir dan pertempuran. Madaya telah menderita karena kelangkaan suplai makanan, tapi dengan masuknya penduduk Zabadani, populasi kami tumbuh secara dramatis, sementara suplai kami terus menyusut.
Beberapa bulan kemudian, (Free Syrian Army) menyetujui genjatan senjata dengan pihak rezim dan Hizbullah (milisi Syiah. Red). Penduduk sipil diharuskan membayar sejumlah besar uang agar bisa keluar dari kota.
Saya melihat seorang pria mengais tumpukan sampah untuk mencari secuil makanan. Saya melihatnya lebih dekat dan mengenali dia sebagai tetanggaku Toufic, seorang apoteker.
Tetanggaku yang lain, seorang pria tua, membayar sekitar $3.000 agar dapat keluar dari kota dengan aman. Tetapi kebanyakan dari kami tidak mempunyai uang sebesar itu. Di bulan-bulan berikutnya, rezim memperkuat pengepungan mereka di sekitar kota. Minggu ke minggu, kami menyaksikan persediaan kami semakin habis. Pada titik ini penderitaan yang sebenarnya penduduk Madaya dimulai.
*
TIAP hari menjadi sebuah perjuangan untuk mencari rizki, dan untuk mendapatkan sumber panas ketika keadaan semakin dingin. Kami tidak bisa meninggalkan kota karena pihak rezim telah menanam ranjau di wilayah sekitar kota.
Sepuluh orang telah menjadi korban dari perangkap itu ketika mereka memutuskan keluar untuk mencari makanan ataupun kayu bakar.
Perhatian semua orang saat itu adalah mencari cara agar dapat memberi anak-anak mereka beberapa gram makanan.
Saya tidak dapat berbuat apapun selain melihat keluargaku kelaparan –ibuku, ayah, saudara perempuan, sepupu, paman dan bibi– mengetahui, bahwa para pria yang memberanikan diri keluar dari kota yang tertangkap akan dipenjara, dibunuh atau kehilangan kaki setelah menginjak ranjau.
Banyak yang lain tewas karena peluru-peluru penembak jitu.
Harga makanan meningkat lebih dari tiga kali lipat. Suatu saat harga barang $2.50, kemudian akan berubah menjadi $10. Semakin intensif blokade, semakin banyak pula orang-orang yang terbunuh atau kehilangan anggota tubuh mereka karena mencoba untuk keluar, harga barang terus menanjak.
Kami mulai mengumpulkan rumput dari tanah dan memasaknya, berharap itu dapat meredakan pedihnya rasa lapar kami. Kami mencabut dedaunan dari pohonnya –pepohonan indah yang berjejer di lingkungan kami– hingga tidak ada yang tersisa.
Setelah beberapa waktu, kami tidak dapat lagi menemukan rumput untuk dimakan. Dengan datangnya musim salju, badai salju menghantam wilayah kami, dan keadaan sekarang menjadi sangat buruk.
Beberapa orang bahkan dilaporkan memakan hewan peliharaan mereka seperti kucing, anjing atau apapun yang bisa mereka makan.
Rerumputan tidak tumbuh karena datangnya salju. Dan dengan dimulainya bulan pertama musim salju, orang-orang satu persatu mati (people began to die). Pada awalnya tiga atau empat orang, saya ingat.
Saya menyusuri jalanan dan menjumpai seorang pria meninggal atau jasad seorang wanita di depan mataku. Saya tidak dapat melakukan apapun. Saya melihat seorang pria mengais tempat sampah untuk mencari secuil makanan. Saya melihatnya lebih dekat dan mengenali dia sebagai tetanggaku Toufic, seorang apoteker. Saya hampir tidak mengenali dia. Orang-orang mulai depresi dan saling berselisih tentang sisa makanan atau menuduh orang lain menimbun makanan sementara yang lain kelaparan.
Saya telah melihat bayi meninggal kekurangan nutrisi karena ibu mereka tidak dapat menghasilkan susu.
Perasaan yang saya miliki, saya tidak dapat menggambarkannya dengan kata-kata. Tidak peduli seberapa banyak saya menulis, saya tidak dapat menggambarkan apa yang telah kami lalui.
Awalnya selama pengepungan, orang-orang mulai menjual peralatan rumah tangga dan perabotan. Mesin cuci, Tv, kulkas, semua yang dapat digunakan untuk membeli makanan. Tapi semua itu, meskipun jika barang-barang itu bisa dijual, hanya dapat menjadi 100 hingga 150 gram makanan.
Saya kenal seseorang yang menjual seisi rumahnya hanya untuk lima kilogram makanan. Kalian mungkin merasa itu tidak terbayangkan, tapi itu benar adanya.
Bagaimana itu bisa terjadi? Mengapa tidak ada seorangpun yang peduli? Pertanyaan yang selalu kami tanyakan pada diri kami sendiri tiap waktu.
Saya tidak lagi berpikir tentang masa depan. Masa depan apa yang harus dipikirkan? Saya ingat dulu saya mahasiswa muda dan saya tidak dapat mengenalinya lagi.
Saya lelah sekarang. Kami berjuang untuk bertahan hidup tapi tidak terlihat seorang pun yang peduli
Surat dari Madaya: “Kenapa Tidak Ada Seorang pun yang Peduli?”
Tetanggaku seorang pria tua, membayar sekitar $3.000 agar dapat keluar dari Madaya dengan aman. Tetapi kebanyakan dari kami tidak mempunyai uang sebesar itu. Kemudian, rezim memperkuat pengepungan mereka di sekitar kota. Kami pun menyaksikan persediaan semakin habis.
***
foto anak Madaya yang kurus kering karena kelaparan |
01 Februari 2016
“Saya lahir di Madaya. Saya hidup di lingkungan sederhana yang indah, dimana semua orang saling mengenal dan saling menyukai. Daerah tempat tinggal kami merupakan tempat pertama yang orang-orang lalui jika ingin menuju pusat kota Madaya.
Selama pengepungan, apa yang kami alami sama seperti apa yang dialami keluarga lain di Madaya. Kami berada dalam perjuangan terus-menerus untuk bertahan hidup. Banyak dari kami yang menghabiskan dua atau tiga hari tanpa makanan. Saya seorang pria dewasa, tetapi saya hanya berbobot kurang dari 50 kg. Kadang-kadang rasanya seolah-olah saya hidup dalam mimpi.
Saya telah melihat anak kecil sekarat karena kelaparan dan merasa tidak berdaya. Saya telah menyaksikan dunia di sekitarku hancur. Orang Madaya tidak memiliki susu, roti ataupun uang. Dan Madaya semakin dingin.
Sebelum PBB masuk ke Madaya beberapa hari yang lalu, satu kilogram gula berharga $300. Saya takut bantuan tidak akan cukup bagi kami bahkan untuk 20 hari. Dan setelah itu apa?
Tetapi biarkan saya memulainya dari 2011, permulaan dari revolusi Suriah. Pada saat itu, saya masih menjadi mahasiswa hukum di Universitas Damaskus. Saya bermimpi untuk mendapat karir yang bagus dan membuat keluargaku bangga.
Pada awalnya, revolusi dimulai dengan serangkaian unjuk rasa: orang-orang meminta kemerdekaan mereka. Beberapa teman dekatku, yang merupakan rekan sesama mahasiswa dan satu universitas ikut serta. Mereka berkorban dengan jujur.
Tapi kemudian rezim yang mengambil alih revolusi, mengubah unjuk rasa damai menjadi pertempuran bersenjata dengan menembak dan membunuh orang yang tidak bersalah.
Beberapa orang di Madaya merasa terpaksa mengangkat senjata dan membela diri mereka. Mereka pikir mereka sedang melindungi kehormatan mereka. Tetapi sekitar bulan November 2014, rezim mulai mengubah siasat mereka; mereka menerapkan kebijakan kelaparan dengan mengepung kota kami dan melancarkan serangan udara dengan bom barel mematikan. Saya melihat seluruh keluarga mati dalam serangan itu.
Selama masa itu, harga makanan mulai meningkat. Karena wilayah kami terletak di dekat perbatasan Lebanon-Suriah, Hizbullah juga bekerja sama dengan rezim Bashar al Assad untuk mengepung kami dari semua sisi, dengan rencana masuk ke kota. Pertempuran dimulai pada awal Juni 2015 di Zabadani, yang merupakan kota sebelah Madaya.
Saat itu, penduduk Zabadani mulai mundur ke Madaya untuk menghindari bombardir dan pertempuran. Madaya telah menderita karena kelangkaan suplai makanan, tapi dengan masuknya penduduk Zabadani, populasi kami tumbuh secara dramatis, sementara suplai kami terus menyusut.
Beberapa bulan kemudian, (Free Syrian Army) menyetujui genjatan senjata dengan pihak rezim dan Hizbullah (milisi Syiah. Red). Penduduk sipil diharuskan membayar sejumlah besar uang agar bisa keluar dari kota.
Saya melihat seorang pria mengais tumpukan sampah untuk mencari secuil makanan. Saya melihatnya lebih dekat dan mengenali dia sebagai tetanggaku Toufic, seorang apoteker.
Tetanggaku yang lain, seorang pria tua, membayar sekitar $3.000 agar dapat keluar dari kota dengan aman. Tetapi kebanyakan dari kami tidak mempunyai uang sebesar itu. Di bulan-bulan berikutnya, rezim memperkuat pengepungan mereka di sekitar kota. Minggu ke minggu, kami menyaksikan persediaan kami semakin habis. Pada titik ini penderitaan yang sebenarnya penduduk Madaya dimulai.
*
TIAP hari menjadi sebuah perjuangan untuk mencari rizki, dan untuk mendapatkan sumber panas ketika keadaan semakin dingin. Kami tidak bisa meninggalkan kota karena pihak rezim telah menanam ranjau di wilayah sekitar kota.
Sepuluh orang telah menjadi korban dari perangkap itu ketika mereka memutuskan keluar untuk mencari makanan ataupun kayu bakar.
Perhatian semua orang saat itu adalah mencari cara agar dapat memberi anak-anak mereka beberapa gram makanan.
Saya tidak dapat berbuat apapun selain melihat keluargaku kelaparan –ibuku, ayah, saudara perempuan, sepupu, paman dan bibi– mengetahui, bahwa para pria yang memberanikan diri keluar dari kota yang tertangkap akan dipenjara, dibunuh atau kehilangan kaki setelah menginjak ranjau.
Banyak yang lain tewas karena peluru-peluru penembak jitu.
Harga makanan meningkat lebih dari tiga kali lipat. Suatu saat harga barang $2.50, kemudian akan berubah menjadi $10. Semakin intensif blokade, semakin banyak pula orang-orang yang terbunuh atau kehilangan anggota tubuh mereka karena mencoba untuk keluar, harga barang terus menanjak.
Kami mulai mengumpulkan rumput dari tanah dan memasaknya, berharap itu dapat meredakan pedihnya rasa lapar kami. Kami mencabut dedaunan dari pohonnya –pepohonan indah yang berjejer di lingkungan kami– hingga tidak ada yang tersisa.
Setelah beberapa waktu, kami tidak dapat lagi menemukan rumput untuk dimakan. Dengan datangnya musim salju, badai salju menghantam wilayah kami, dan keadaan sekarang menjadi sangat buruk.
Beberapa orang bahkan dilaporkan memakan hewan peliharaan mereka seperti kucing, anjing atau apapun yang bisa mereka makan.
Rerumputan tidak tumbuh karena datangnya salju. Dan dengan dimulainya bulan pertama musim salju, orang-orang satu persatu mati (people began to die). Pada awalnya tiga atau empat orang, saya ingat.
Saya menyusuri jalanan dan menjumpai seorang pria meninggal atau jasad seorang wanita di depan mataku. Saya tidak dapat melakukan apapun. Saya melihat seorang pria mengais tempat sampah untuk mencari secuil makanan. Saya melihatnya lebih dekat dan mengenali dia sebagai tetanggaku Toufic, seorang apoteker. Saya hampir tidak mengenali dia. Orang-orang mulai depresi dan saling berselisih tentang sisa makanan atau menuduh orang lain menimbun makanan sementara yang lain kelaparan.
Saya telah melihat bayi meninggal kekurangan nutrisi karena ibu mereka tidak dapat menghasilkan susu.
Perasaan yang saya miliki, saya tidak dapat menggambarkannya dengan kata-kata. Tidak peduli seberapa banyak saya menulis, saya tidak dapat menggambarkan apa yang telah kami lalui.
Awalnya selama pengepungan, orang-orang mulai menjual peralatan rumah tangga dan perabotan. Mesin cuci, Tv, kulkas, semua yang dapat digunakan untuk membeli makanan. Tapi semua itu, meskipun jika barang-barang itu bisa dijual, hanya dapat menjadi 100 hingga 150 gram makanan.
Saya kenal seseorang yang menjual seisi rumahnya hanya untuk lima kilogram makanan. Kalian mungkin merasa itu tidak terbayangkan, tapi itu benar adanya.
Bagaimana itu bisa terjadi? Mengapa tidak ada seorangpun yang peduli? Pertanyaan yang selalu kami tanyakan pada diri kami sendiri tiap waktu.
Saya tidak lagi berpikir tentang masa depan. Masa depan apa yang harus dipikirkan? Saya ingat dulu saya mahasiswa muda dan saya tidak dapat mengenalinya lagi.
Saya lelah sekarang. Kami berjuang untuk bertahan hidup tapi tidak terlihat seorang pun yang peduli
Comments
Post a Comment