Skip to main content

TANYA JAWAB SEPUTAR MEA (MASYARAKAT EKONOMI ASEAN)


1.    Apakah MEA?
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah dicanangkan dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 1992.  Pasar bebas ASEAN adalah gagasan World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang meniscayakan aliran barang, jasa, investasi, modal dan buruh terampil.  Tentu saja yang mampu memanfaatkan akses terbuka itu adalah negara, perusahaan dan individu yang memiliki daya saing tinggi. 

2.    Apa sajakah potensi ASEAN?
Secara geografis, negara-negara di Asia Tenggara memiliki karakteristik wilayah fisik yang beranekaragam. Negara-negara ASEAN terdiri dari negara kepulauan yang luas, semenanjung, daratan-benua, tidak-berpantai (landlocked) sampai negara kota. Ditinjau berdasarkan luas wilayah, negara-negara di kawasan tersebut mempunyai rentang dari negara kepulauan seperti Indonesia, sampai negara-kota seperti Singapura. Terdapat sekitar 32.000 pulau yang terbentang seluas 4 juta km2 lebih, serta dihuni oleh sekitar 600 juta penduduk dengan 900 bahasa dan dialek berbeda dalam kehidupan sehari-hari.
Secara ekonomi, potensi pembangunan ekonomi di kawasan ini sangat menjanjikan,  dengan besaran GDP (Gross domestic product) secara keseluruhan mencapai $ 2 triliun AS. Dari segi perekonomian, negara-negara di Asia Tenggara memiliki profil ekonomi yang beragam, dengan pendapatan per-kapita masing-masing negara yang bervariasi, dari negara dengan pendapatan tertinggi mencapai 60,000 dollar AS dalam satu tahun, hingga negara dengan tingkat pendapatan terendah mencapai 1000 dolar AS; serta persentase rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen setiap tahunnya.
Dari segi pembangunan sosial kemasyarakatan, angka Indeks Pembangunan Manusia/IPM (Human Development Index/HDI) di negara-negara Asia Tenggara bervariasi dari very high, high, medium, sampai low human development. Potensi ekonomi ini sungguh sangat menggiurkan negara-negara Barat, khususnya AS yang saat ini berada diambang krisis ekonomi. Sebab pertumbuhan ekonomi global saat ini memiliki tren yang cenderung terus menurun dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah negara-negara berkembang di kawasan Timur Asia.  Dengan negara yang memiliki IPM rendah pun Barat masih diuntungkan, dengan menjadikan mereka potensi penyedia tenaga kerja yang murah.

3.    Apakah MEA akan menjadikan ASEAN kawasan terbuka?
Betul, MEA yang diterapkan tahun 2015 nanti, akan menjadikan kawasan ASEAN seperti sebuah negara besar. Penduduk di kawasan ASEAN akan mempunyai kebebasan untuk melanglang buana, masuk ke satu negara dan keluar dari negara lain di kawasan ASEAN tanpa hambatan berarti. Mereka mempunyai kebebasan dan kemudahan untuk memilih lokasi pekerjaan yang dianggap memberikan kepuasan bagi dirinya. Pun demikian dengan perusahaan. Perusahaan mempunyai kebebasan untuk memilih lokasi pendirian pabrik dan kantor perusahaan di kawasan ASEAN.  

4.    Apakah MEA berdiri sendiri?
Konsep MEA tidak dapat dipisahkan dari rencana pembentukan masyarakat ASEAN (ASEAN Community).  Konsep itu dicanangkan dalam Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997 dan diperkuat dengan pengesahan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali Oktober 2003. Selain MEA (ASEAN Economic Community/AEC), Masyarakat ASEA itu melingkupi Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/ASC) dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Culture Community/ASCC).
Ekonomi kapitalis yang menganut pasar bebas akan tumbuh dengan subur jika tidak ada gangguan keamanan yang berasal dari ideologi tandingan kapitalis (baca: Islam), seperti kasus terorisme ataupun  separatisme. Oleh karena itu  sejumlah agenda rencana aksi Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/ASC) berusaha untuk mencegah dan mengatasi konflik, termasuk melakukan pembangunan politik yang demokratis. Barat menamakan masyarakat yang damai dan stabil jika semua orang dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari proses integrasi ASEAN tanpa memandang  gender, ras, agama, bahasa atau latar belakang sosial dan budaya. 
Demikian juga dengan pembentukan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Culture Community/ ASCC).  Melalui konsep itu masyarakat ASEAN diikat untuk memiliki standar nilai yang sama untuk menentukan benar-salah dan terpuji-tercela.  Tentu saja standar bakunya bukan berasal dari nilai-nilai ketimuran, namun berdasarkan standar universal Barat. Untuk itu, negara-negara ASEAN juga harus mempromosikan dan mendukung  pengarusutamaan gender, toleransi, menghargai keberagaman, kesetaraan dan  saling pengertian. Salah satu cara untuk memfasilitasinya adalah dengan mendirikan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) untuk mempromosikan hak asasi manusia.  Tujuannya, agar semua masyarakat ASEAN saling peduli satu sama lain. Tidak hanya pada hak dan kesejahteraan kelompok yang kurang beruntung, rentan dan terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, orang tua, penyandang cacat dan pekerja migran, namun juga terhadap komunitas yang saat ini masih sulit diterima publik ASEAN seperti masyarakat atheis, penganut Ahmadiyah, Syiah ataupun kalangan LGBT yang memiliki orientasi seksual ‘aneh’. 

5.    Mengapa Pemerintah kian gencar mengkampanyekan MEA?
Pemerintah dalam posisi sebagai pihak terjajah, yang seakan-akan ‘tidak memiliki pilihan untuk menolak MEA.” Walaupun sebagian akademisi dan praktisi bisnis banyak menyorot ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA, namun mayoritas masih menilai program ini akan menguntungkan. Pemerintah dan pihak-pihak yang diuntungkan, dibantu media massa berusaha memanfaatkan waktu yang terbatas ini untuk menggiring opini positif tentang MEA.  Padahal jika ditelaah lebih dalam justru program ini akan menyengsarakan masyarakat. Artinya masyarakat pada umumnya masih melihat dengan kacamata tantangan padahal hakikatnya MEA adalah sebuah ancaman.  Karena itu selayaknya setiap orang harus bersiaga dan waspada terhadap mudlorot dan bahaya yang akan ditimbulkannya. 

6.    Bagaimana kemudlorotan yang ditimbulkan MEA?
MEA akan mengarahkan ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global menuju pasar bebas sebagaimana keinginan WTO. Demikian pula komitmen yang dicanangkan dalam Bogor Goals ketika terjadi pertemuan APEC 1994 yang mengarahkan anggota-anggotanya menjadi kawasan pasar dan investasi bebas pada tahun 2010 untuk negara industri dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Karena desain MEA adalah pasar bebas, maka kompetisi yang akan terjadi adalah kompetisi liberal.
Dalam pasar bebas semua pihak diberikan kebebasan untuk melakukan persaingan. Tidak ada pembatasan apapun, siapa yang ingin bersaing dipersilakan untuk masuk ke pasar tersebut. Ibarat bermain tinju, semuanya bisa masuk ke ring tinju tanpa memperhatikan kelas-kelasnya, apakah kelas berat, kelas ringan ataupun kelas terbang. Semua dipersilakan bermain dan bertanding secara langsung. Maka sangat mudah dipahami siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan pertandingan.  Pada kondisi persaingan bebas sempurna, ekonomi akan terasa stabil dan menguntungkan bagi pihak kuat.  Sedangkan pihak yang daya saingnya lemah, persaingan akan menghantarkannya keluar ‘arena’.  

7.    Apa sebenarnya tujuan pasar bebas?
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang. Akibatnya negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.  

8.    Bagaimana strategi pemerintah menghadapi MEA?
Pemerintah Indonesia tidak ingin dikatakan tidak siap menghadapi MEA. Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2014 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2014 dikeluarkan SBY dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesiapan menghadapi pelaksanaan MEA.  Padahal pasar tunggal sebagai konsekuensi liberalisasi ekonomi akan meniscayakan migrasi pekerja secara masif di lingkungan ASEAN. Kondisi ini akan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan laten antara pekerja – pengusaha – pemerintah (tripartit). Karena itu kalangan perguruan tinggi secara khusus diminta menyusun strategi dalam proyek-proyek untuk mensukseskan program tersebut, termasuk mempersiapkan tenaga kerja, baik terdidik maupun tidak, yang mampu bersaing dari negara tetangga manapun, termasuk Singapura  dan Malaysia. 
Lahirlah berbagai program dan kebijakan untuk hal ini, mulai dari kebijakan yang akan melindungi pekerja dalam negeri, seperti disahkannya UU Keinsinyuran beberapa waktu yang lalu, kemudian kebijakan pengucuran kredit untuk UKM bahkan sampai memberikan prohram-program pelatihan untuk mendidik tenaga trampil.

9.    Apakah strategi itu cukup bisa mengamankan Indonesia dari keburukan MEA?
Pemerintah Indonesia hanya berpikir demi ‘keuntungan” sesaat saja. Yang penting sudah membuat kebijakan atau program yang seolah pro rakyat. Namun, pemerintah tak pernah sungguh-sungguh berpikir apakah dengan program-program dan kebijakan yang dibuatnya benar-benar menjadi solusi bagi rakyat. Bank Dunia saja menyatakan bahwa Usaha mikro, menengah dan kecil (UMKM) memang menghasilkan paling banyak pekerjaan di negara-negara berkembang.   Namun ternyata bidang ini kurang produktif dan hanya memberikan penghasilan yang minim.
Rakyat takkan mampu bersaing dengan model program dan kebijakan seperti ini. Apalagi sejak awal kualitas sumber daya manusia Indonesia memang sudah terkategori rendah, sebagaimana ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM)  Indonesia yang menempati urutan ke-124 dari 182 negara. Ini berarti jika Indonesia memaksakan diri terlibat aktif dalam pasar tenaga kerja terampil maka bisa dipastikan ini justru akan membuahkan pengangguran. Atau jika tidak demikian, akan semakin meningkatkan pengiriman jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) nonprofesional ke luar negeri.

10.  Apa bahaya MEA bagi fungsi pemerintah?
Perdagangan bebas akan membawa konsekuensi komersialisasi hajat hidup masyarakat.  Bila negara ini menerapkan liberalisasi, berarti negara semakin lalai terhadap fungsinya sebagai raa’in (penjaga dan pelaksana urusan rakyat).  Pengabaian peran dan fungsi penting pemerintah pasti mengakibatkan masyarakat makin sengsara harus harus membayar untuk mendapatkan layanan yang kualitasnya pas-pasan.  Akibatnya masyarakat akan terbiasa berpikir, jika ingin mendapatkan layanan prima maka mereka harus membayar lebih.
Pada era MEA, ketika fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, pelayanan terbaik amat minim dinikmati masyarakat, sementara itu arus investasi, tenaga kesehatan mudah masuk, akan mendorong investor asing mendirikan Rumah Sakit-Rumah Sakit berkelas Internasional.  Minimnya rasa dedikasi tenaga kesehatan dan desakan kebutuhan hidup mendorong mereka berlomba-lomba bekerja di fasilitas kesehatan yang mahal.  Akibatnya yang dapat memenuhi hajat pelayanan kesehatan hanya yang mampu membayar mahal.  Si miskin harus siap merana dengan jatah pelayanan kesehatan kelas asal jadi.
Di era MEA pula, karena kemudahan aliran jasa pengajar asing, investasi dan modal termasuk dari luar ASEAN, akan semakin menjamur sekolah-sekolah yang dikelola korporasi. Sekolah dan pendidikan tinggi plat merahpun belomba menjual jasa, sebagai tuntutan dari situasi politik MEA.  
Adapun pengelolaan air bersih, air tidak lagi dilihat sebagai barang milik umum (public good), tapi menjadi barang komersial (commercial good).  Sumberdaya air dikuasai oleh perusahaan air kemasan, industri air dan perpipaan dikomersialkan melalui kemitraan dengan swasta.  Akhirnya, akses air bersih makin sulit didapat.  Demikian pula dengan sumber daya energi yang potensinya berlimpah, dikuasai asing.  Negara hanya berfungsi sebagai regulator.  Akibatnya produksi minyak terus merosot, disamping harganya yang terus melangit.  Gas yang berlimpah di blok Tangguh, teluk Bintuni, Papua Barat  justru diekspor ke Cina dengan harga murah.  Demikian pula listrik.  Saat ini lantas muncul pemikiran tentang energi alternatif, seperti tenaga surya, angina dan gelombang air laut,  yang disebut lebih berlimpah, sehingga akan murah.  Nyatanya, penggunaan energi terbarukan jika dikelola dengan konsep liberal tetap saja akan membuat harga energi mahal dan langka.

11.  Apa bahaya MEA bagi tatanan keluarga?
Akibat yang paling berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial yang bermuara tidak saja pada kehancuran keluarga, namun juga kehancuran peradaban.  Saat beban hidup makin menyesak, setiap laki-laki ‘terpaksa’ menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah keluarga.  Kesulitan mendapatkan akses pekerjaan menjadikan mereka rela melepas status terhormat sebagai kepala keluarga.  Apalagi strategi massif pemberdayaan perempuan membuat kewajiban mereka beralih tangan.  Wajar jika saat ini di dunia muslim, fungsi qowwam laki-laki menjadi perlahan-lahan tereduksi. Ketika perempuan mandiri secara nafkah, mereka berani menggugat cerai suaminya jika suasana keluarga tidak lagi menyenangkan. Realitas inilah yang mendasari tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun. Data Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4) menyebutkan lebih dari 60 persen perceraian  terlebih dahulu dilayangkan pihak perempuan.
Tak dapat dipungkiri jika secara tidak langsung rancangan pasar bebas kapitalistik mengusik, bahkan membawa kehancuran keluarga muslim.  Institusi terkecil dalam struktur kemasyarakatan yang seharusnya berperan dalam pembangunan peradaban rusak karena peran dan fungsi anggota keluarganya tak lagi selaras dengan tatanan Allah SWT,  Sang Pengatur kehidupan.  Keluarga terminal menjadi fenomena dimana keluarga hanya menjadi tempat sejenak melepas lelah, kemudian semua anggotanya tersibukkan kembali  dengan kepentingan duniawi yang tak hendak berhenti.  

12. Apa dampak MEA bagi perempuan?
Sebagaimana watak ekonomi kapitalis yang eksploitatif, MEA juga menjadikan perempuan sebagai sumber pendapatan utama baik dari tenaga kerja ataupun pembelanjaan finansial sebagai hasil keringat mereka.
Dampak langsung dari penerapan bebas adalah peningkatan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.  Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara dengan peningkatan ketimpangan tercepat di kawasan Asia Timur. Selain keluarga miskin, 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh miskin dengan pendapatan hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga miskin. Guncangan ekonomi, seperti jatuh sakit, bencana, dan kehilangan pekerjaan, berpotensi membuat kelompok penduduk tersebut kembali jatuh miskin.  Tentu saja yang menerima dampak ini secara langsung adalah kalangan perempuan.  Sehingga perempuan beramai-ramai memasuki dunia kerja dengan dalih mengamankan ‘asap dapur’ dan sekolah anak-anak. Keinginan ini disambut gembira oleh pengusaha yang lebih menyukai tenaga kerja perempuan, karena lebih ulet dan tidak rewel. Begitu pula dengan program-program untuk mengatasi kemiskinan  kerap menjadikan perempuan sebagai aktor penting perubahan, seperti program UMKM.  Yang diuntungkan dari mobilisasi perempuan dan generasi di dunia kerja tentu saja masih korporasi besar, bukan perempuan itu sendiri. 
Apalagi jika perempuan itu berperan sebagai ibu.  Konsekuensi logis yang harus dihadapi keluarga jika ibu-ibu mereka harus berangkat ‘mencari penghasilan’ adalah meninggalkan tanggung jawab sebagai pengurus rumah tangga, termasuk kewajiban melakukan hadlonah bagi anak yang masih membutuhkannya.  Fatalnya, pemerintah bukannya memastikan fungsi ibu berjalan optimal, namun justru menerbitkan aturan yang memfasilitasi fenomena mobilisasi pekerja perempuan.   Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif   menyebutkan bahwa salah satu unsur dari pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak  berwujud  Day Care /Tempat Penitipan Anak.  Day care menjadi solusi praktis ibu bekerja.  dan penebus rasa bersalah ibu yang harus meninggalkan anak karena harus bekerja.
Kepunahan generasi  juga bakal menjadi momok masa depan.  Tuntutan karier  membuahkan keinginan perempuan pekerja untuk menunda kehamilan, membatasi jumlah  anak atau bahkan tak ingin memilikinya.  Fenomena ini telah menimpa Jepang, Korea Selatan dan Singapura yang telah lebih dulu mengalami  kapitalisasi.  Jepang mengalami penurunan kelahiran yang berkelanjutan sejak tahun 1970an hingga mengakibatkan kurangnya tenaga kerja pada tahun 1990an akibat berkurangnya penduduk usia produktif.  Pada tahun 2006, tingkat kelahiran di Korea Selatan hanya 1,1 yang sekaligus menjadi yang terendah di dunia. Sedangkan Singapura, pada awal 1990-an juga menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja dan beban penduduk usia lanjut.

13.  Bagaimana dampak pemberlakuan MEA terhadap keluarga?
Jika MEA diberlakukan, migrasi tenaga kerja akan makin meningkat.  Saat tenaga professional dan trampil menyerbu Indonesia,  pengangguran akan meningkat.  Akibat minimnya lapangan kerja di dalam negri, satu-satunya peluang kerja yang terbuka adalah menjadi tenaga kasar di negara-negara tetangga yang lebih makmur, karena masyarakat di sana enggan mengerjakan pekerjaan kasar. 
Menjadi buruh migran pun  juga menjadi pilihan bagi sebagian perempuan.  Ketika ibu ikut bekerja, bahkan ke luar negeri, maka otomatis anak-anak tidak atau kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan yang memadai di dalam rumah. Padahal seharusnya keluarga menjadi tempat pembentukan karakter anak secara mendasar.  Kesibukan  Orang tua, yaitu ayah dan ibu dalam mencari nafkah,membuat anak-anak  tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang optimal.  maka mereka mulai mencari kesibukan sendiri.  Krisis identitas, kurangnya kemampuan kontrol diri dan kuatnya pengaruh buruk lingkungan membuat anak-anak remaja terseret dalam perilaku menyimpang seperti seks bebas dan narkoba.
Demikian halnya tugas perempuan sebagai istri, turut terabaikan. Hal ini akan memicu terjadinya perceraian dan pengabaian pengurusan anak dengan segala konsekuensinya. Akibatnya fungsi keluarga tidak akan terwujud, demikian juga dengan ketahanan keluarga.   Yang akan mengakibatkan goyahnya bangunan keluarga.  Jika bangunan keluarga goyah, pasti akan menyebabkan goyahnya masyarakat, yang akan berakibat banyaknya kerusakan di tengah masyarakat yang akan mengancam kekuatan bangsa dan negara. 
Itulah yang akan terjadi ketika Masyarakat ASEAN terbentuk, baik dalam pilar keamanan, sosial budaya maupun ekonomi. Sepintas memang seolah menjanjikan perbaikan kehidupan masyarakat.  Namun bila ditelaah dengan seksama, nila-nilai kehidupan yang akan diwujudkan justru akan merusak tatanan keluarga dan menghancurkan ketahanan keluarga.  

14. Apakah dampak MEA bagi generasi?
Generasi juga menjadi korban sistem pasar bebas ini.  Karena pemerintah bekerja atas dasar hukum ekonomi, maka strategi pendidikan yang dikembangkan berorientasi pasar.  Simak saja studi yang kian menjamur adalah studi  yang dibutuhkan dunia usaha, bukan lagi mata ajaran yang bernilai strategis bagi peradaban.  Wajar jika pendidikan semacam ini menghasilkan generasi yang hanya bercita-cita ‘bisa  diterima di dunia kerja.” 
Generasi juga menderita krisis identitas karena ‘kehilangan’ figur  ayah-ibunya.  Wajar pula jika kasus asusila dan kriminal saat ini juga diperankan oleh kaum muda.  Karena itu Prof. Dr. Mohd. Kamal Hassan dari Institut Antarabangsa Tamadun dan Pemikiran Islam (Istac) Malaysia mengungkapkan  bahwa masyarakat modern kapitalis amat rentan dilanda sindrom budaya seperti di Chicago dan New York.  Yakni  masyarakat yang mempunyai taraf kehidupan dan teknologi yang begitu tinggi namun miskin dari segi peradaban.
 
15. Bolehkah sebuah negara menganut konsep pasar bebas?
Islam mengharamkan konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh Amerika dan negara-negara barat. Di samping secara faktual jelas-jelas merugikan, sejatinya kebijakan tersebut tidak lain merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (freedom of ownership) yakni kebebasan untuk memiliki dan menguasai berbagai jenis komoditi. Padahal di dalam Islam konsep kemilikan telah diatur dengan jelas. Seseorang individu hanya berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori milkiyyah fardiyyah. Sementara untuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) dan negara (milkiyyatu ad daulah) berada di tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Di samping itu, pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagai negara-negara kufur mampu mencengkram dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
“Dan Allah tidak memperkenankan orang-orang Kafir menguasai orang-orang beriman.” (QS al-Nisa [4]: 141)

Hal ini juga dikemukakan oleh Syekh Taqiuddin An-Nabhany. Menurutnya perdagangan luar negeri yang berbasis teori free market (hurriyatu al-mubadalah) yakni perdagangan luar negeri antara negara dilakukan tanpa hambatan seperti tarif bertentangan dengan Islam. Alasannya perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara negara Islam dengan negara lain berada dalam tanggungjawab negara. Sebagaimana difahami bahwa negara memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain termasuk hubungan antara rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan ataupun yang lainnya. Oleh karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol.
Di samping itu negara Islam memiliki otoritas untuk mengizinkan atau melarang komoditas tertentu untuk diekspor. Syara’ juga telah memberikan tanggangjawab kepada negara untuk mengatur pedagang ahlu al-harb dan mu’ahid. Termasuk dalam hal ini memberikan pelayanan kepada rakyatnya yang berdagang baik di dalam maupun di luar negeri. (Taqiuddin An-Nabhany, Nidzam Al Iqtishady fi Al Islam)
Walhasil, dalam membuat berbagai perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain negara Khilafah Islamiyyah—yang insya Allah akan tegak dalam waktu yang tidak lama lagi–wajib terikat pada syariat Islam dan sedikitpun tidak boleh menyimpang darinya. Berbeda dengan negara ini yang telah menyimpang jauh dari syariah Islam. 

16.    Bagaimana cara melawan MEA?
Hegemoni Barat yang sudah sangat kuat ini tidak mungkin bisa dilawan dengan bersatunya kelompok-kelompok masyarakat, atau berkumpulnya individu-individu atau bahkan berkumpulnya para perempuan.
MEA adalah strategi dari suatu sistem. Maka yang mampu melawannya adalah kekuatan sistem pula, bukan kekuatan kelompok apalagi kekuatan individu. Karena itu menegakkan sebuah sistem yang akan menata perekonomian dunia dengan cara yang tepat adalah suatu keharusan. Dan hal ini hanya bisa dilakukan ketika ada sebuah institusi yang akan menerapkan sistem ekonomi tersebut. Dan Islam yang diterapkan dalam sebuah Negara yakni Daulah Khilafah Islamiyyah dengan sistem ekonomi yang diridloi oleh Allah adalah jawaban atas semua ini. 
[Tim Lajnah Siyasiyah HTI]

Comments

Popular posts from this blog

3 Pertanyaan Besar dalam Hidup (Uqdatul Kubra)

Ada 3 Pertanyaan Besar yang harus bisa dijawab oleh orang yang hidup. 3 pertanyaan ini seperti simpul besar, yang apabila ini bisa dijawab dengan benar maka ia akan bisa menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan lain dan menyelesaikan masalah-masalah hidupnya dengan benar. jawaban yang benar ini akan membuat kita merasakan ketenangan hati, terpuaskan akal kita dan sesuai dengan fitrah manusia. pertanyaannya yaitu: DARI MANA MANUSIA BERASAL?, UNTUK APA MANUSIA HIDUP DI DUNIA INI ?dan AKAN KEMANA KITA SETELAH KEHIDUPAN INI? coba deh kalian jawab. apa jawaban kalian. tulisan ini akan saya lanjutkan dengan jawaban yg insya Allah memuaskan.

Filosofi Lilin : Menerangi yang Lain tetapi Tidak Diri Sendiri

gambar dari https://billditewig.files.wordpress.com/2015/02/candle.jpg Janganlah menjadi seperti lilin, ia memberi cahaya bagi sekitarnya, tetapi membinasakan dirinya  sendiri -Izzah Haq-    pernah dengar kalimat seperti ini? "orang itu kalau menasehati bagus, tetapi sendirinya tidak melaksanakan". Atau yang semisal ,"dia selalu mengkritik kesalahan orang lain tetapi diri sendiri tidak diperhatikan".  Terkadang ada orang yang bijak dalam bertutur kata, lisannya adalah lisan seorang pengemban dakwah tetapi tingkah lakunya amat jauh dari apa yang diucapkannya. Ia mampu menasehati orang lain untuk berubah menjadi lebih baik, tetapi nasehatnya tidak ia laksanakan sendiri. Tidak Selaras antara perkataan dan perbuatan. Demikian kita bisa menyimpulkan, Berkaitan dengan ini Allah SWT menegur dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, diantaranya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu ker