1. Apakah MEA?
Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah
dicanangkan dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area)
pada tahun 1992. Pasar bebas ASEAN adalah gagasan World Trade Organization (WTO) yang
bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai
pasar tunggal dan basis produksi, yang meniscayakan aliran barang, jasa,
investasi, modal dan buruh terampil.
Tentu saja yang mampu memanfaatkan akses terbuka itu adalah negara,
perusahaan dan individu yang memiliki daya saing tinggi.
2. Apa sajakah potensi
ASEAN?
Secara geografis, negara-negara di Asia Tenggara memiliki
karakteristik wilayah fisik yang beranekaragam. Negara-negara ASEAN terdiri dari negara kepulauan yang
luas, semenanjung, daratan-benua, tidak-berpantai (landlocked) sampai negara kota. Ditinjau berdasarkan luas wilayah,
negara-negara di kawasan tersebut mempunyai rentang dari negara kepulauan
seperti Indonesia, sampai negara-kota seperti Singapura. Terdapat sekitar
32.000 pulau yang terbentang seluas 4 juta km2 lebih, serta dihuni oleh sekitar
600 juta penduduk dengan 900 bahasa dan dialek berbeda dalam kehidupan
sehari-hari.
Secara ekonomi, potensi pembangunan ekonomi di kawasan ini sangat
menjanjikan, dengan besaran GDP (Gross
domestic product) secara keseluruhan mencapai $ 2 triliun AS. Dari segi
perekonomian, negara-negara di Asia Tenggara memiliki profil ekonomi yang
beragam, dengan pendapatan per-kapita masing-masing negara yang bervariasi,
dari negara dengan pendapatan tertinggi mencapai 60,000 dollar AS dalam satu
tahun, hingga negara dengan tingkat pendapatan terendah mencapai 1000 dolar AS;
serta persentase rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen setiap
tahunnya.
Dari segi pembangunan sosial kemasyarakatan, angka Indeks
Pembangunan Manusia/IPM (Human
Development Index/HDI) di negara-negara Asia Tenggara bervariasi dari very high, high, medium, sampai low human development. Potensi ekonomi
ini sungguh sangat menggiurkan negara-negara Barat, khususnya AS yang saat ini
berada diambang krisis ekonomi. Sebab pertumbuhan ekonomi global saat ini
memiliki tren yang cenderung terus menurun dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi di wilayah negara-negara berkembang di kawasan Timur Asia. Dengan negara yang memiliki IPM rendah pun
Barat masih diuntungkan, dengan menjadikan mereka potensi penyedia tenaga kerja
yang murah.
3. Apakah MEA akan
menjadikan ASEAN kawasan terbuka?
Betul, MEA yang diterapkan tahun 2015 nanti, akan menjadikan
kawasan ASEAN seperti sebuah negara besar. Penduduk di kawasan ASEAN akan
mempunyai kebebasan untuk melanglang buana, masuk ke satu negara dan keluar
dari negara lain di kawasan ASEAN tanpa hambatan berarti. Mereka mempunyai
kebebasan dan kemudahan untuk memilih lokasi pekerjaan yang dianggap memberikan
kepuasan bagi dirinya. Pun demikian dengan perusahaan. Perusahaan mempunyai
kebebasan untuk memilih lokasi pendirian pabrik dan kantor perusahaan di
kawasan ASEAN.
4. Apakah MEA berdiri
sendiri?
Konsep MEA tidak dapat dipisahkan dari rencana pembentukan masyarakat
ASEAN (ASEAN Community). Konsep itu dicanangkan dalam Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun
1997 dan diperkuat dengan pengesahan Bali
Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali Oktober 2003. Selain MEA (ASEAN Economic Community/AEC), Masyarakat
ASEA itu melingkupi Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community/ASC) dan Masyarakat Sosial
Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Culture Community/ASCC).
Ekonomi kapitalis yang menganut pasar bebas akan tumbuh dengan
subur jika tidak ada gangguan keamanan yang berasal dari ideologi tandingan
kapitalis (baca: Islam), seperti kasus terorisme ataupun separatisme. Oleh karena itu sejumlah agenda rencana aksi Masyarakat
Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security
Community/ASC) berusaha untuk mencegah dan mengatasi konflik, termasuk
melakukan pembangunan politik yang demokratis. Barat menamakan masyarakat yang damai
dan stabil jika semua orang dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari
proses integrasi ASEAN tanpa
memandang gender, ras, agama, bahasa
atau latar belakang sosial dan budaya.
Demikian juga dengan pembentukan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Culture Community/ ASCC). Melalui konsep itu masyarakat ASEAN diikat untuk memiliki standar nilai yang sama untuk menentukan
benar-salah dan terpuji-tercela. Tentu
saja standar bakunya bukan berasal dari nilai-nilai ketimuran, namun
berdasarkan standar universal Barat. Untuk itu, negara-negara ASEAN juga harus mempromosikan dan
mendukung pengarusutamaan gender, toleransi,
menghargai keberagaman, kesetaraan dan
saling pengertian. Salah satu cara untuk memfasilitasinya adalah dengan
mendirikan ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights (AICHR) untuk mempromosikan hak asasi
manusia. Tujuannya, agar semua masyarakat
ASEAN saling peduli satu sama lain.
Tidak hanya pada hak dan kesejahteraan kelompok yang kurang beruntung, rentan
dan terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, orang tua, penyandang cacat dan
pekerja migran, namun juga terhadap komunitas yang saat ini masih sulit
diterima publik ASEAN seperti masyarakat atheis, penganut Ahmadiyah, Syiah
ataupun kalangan LGBT yang memiliki orientasi seksual ‘aneh’.
5. Mengapa Pemerintah kian
gencar mengkampanyekan MEA?
Pemerintah dalam posisi sebagai pihak terjajah, yang seakan-akan
‘tidak memiliki pilihan untuk menolak MEA.” Walaupun sebagian akademisi dan
praktisi bisnis banyak menyorot ketidaksiapan Indonesia menghadapi MEA, namun
mayoritas masih menilai program ini akan menguntungkan. Pemerintah dan
pihak-pihak yang diuntungkan, dibantu media massa berusaha memanfaatkan waktu
yang terbatas ini untuk menggiring opini positif tentang MEA. Padahal jika ditelaah lebih dalam justru
program ini akan menyengsarakan masyarakat. Artinya masyarakat pada umumnya
masih melihat dengan kacamata tantangan padahal hakikatnya MEA adalah sebuah
ancaman. Karena itu selayaknya setiap
orang harus bersiaga dan waspada terhadap mudlorot
dan bahaya yang akan ditimbulkannya.
6. Bagaimana kemudlorotan
yang ditimbulkan MEA?
MEA akan mengarahkan ASEAN
sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global menuju pasar
bebas sebagaimana keinginan WTO.
Demikian pula komitmen yang dicanangkan dalam Bogor Goals ketika terjadi pertemuan APEC 1994 yang mengarahkan anggota-anggotanya menjadi kawasan pasar
dan investasi bebas pada tahun 2010 untuk negara industri dan tahun 2020 untuk
negara berkembang. Karena desain MEA adalah pasar bebas, maka kompetisi yang
akan terjadi adalah kompetisi liberal.
Dalam pasar bebas semua pihak diberikan kebebasan untuk melakukan
persaingan. Tidak ada pembatasan apapun, siapa yang ingin bersaing dipersilakan
untuk masuk ke pasar tersebut. Ibarat bermain tinju, semuanya bisa masuk ke
ring tinju tanpa memperhatikan kelas-kelasnya, apakah kelas berat, kelas ringan
ataupun kelas terbang. Semua dipersilakan bermain dan bertanding secara
langsung. Maka sangat mudah dipahami siapa yang kuat dialah yang akan
memenangkan pertandingan. Pada kondisi
persaingan bebas sempurna, ekonomi akan terasa stabil dan menguntungkan bagi
pihak kuat. Sedangkan pihak yang daya
saingnya lemah, persaingan akan menghantarkannya keluar ‘arena’.
7. Apa sebenarnya tujuan pasar
bebas?
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum, tujuan utama dari kebijakan
liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh
dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan
negara-negara maju yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang.
Akibatnya negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas
dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat
negara-negara berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang
tangguh sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan
demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat
dan berpengaruh.
8. Bagaimana strategi
pemerintah menghadapi MEA?
Pemerintah Indonesia tidak ingin dikatakan tidak siap menghadapi
MEA. Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2014 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun
2014 dikeluarkan SBY dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan
kesiapan menghadapi pelaksanaan MEA. Padahal
pasar tunggal sebagai konsekuensi liberalisasi ekonomi akan meniscayakan
migrasi pekerja secara masif di lingkungan ASEAN. Kondisi ini akan berpotensi
menimbulkan berbagai permasalahan laten antara pekerja – pengusaha – pemerintah
(tripartit). Karena itu kalangan perguruan tinggi secara khusus diminta
menyusun strategi dalam proyek-proyek untuk mensukseskan program tersebut, termasuk
mempersiapkan tenaga kerja, baik terdidik maupun tidak, yang mampu bersaing
dari negara tetangga manapun, termasuk Singapura dan Malaysia.
Lahirlah berbagai program dan kebijakan untuk hal ini, mulai dari
kebijakan yang akan melindungi pekerja dalam negeri, seperti disahkannya UU
Keinsinyuran beberapa waktu yang lalu, kemudian kebijakan pengucuran kredit
untuk UKM bahkan sampai memberikan prohram-program pelatihan untuk mendidik
tenaga trampil.
9. Apakah strategi itu
cukup bisa mengamankan Indonesia dari keburukan MEA?
Pemerintah Indonesia hanya berpikir demi ‘keuntungan” sesaat saja.
Yang penting sudah membuat kebijakan atau program yang seolah pro rakyat.
Namun, pemerintah tak pernah sungguh-sungguh berpikir apakah dengan
program-program dan kebijakan yang dibuatnya benar-benar menjadi solusi bagi
rakyat. Bank Dunia saja menyatakan bahwa Usaha mikro, menengah dan kecil (UMKM)
memang menghasilkan paling banyak pekerjaan di negara-negara berkembang. Namun ternyata
bidang ini kurang produktif dan hanya memberikan penghasilan yang minim.
Rakyat takkan mampu bersaing dengan model program dan kebijakan
seperti ini. Apalagi sejak awal kualitas sumber daya manusia Indonesia memang
sudah terkategori rendah, sebagaimana ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia yang menempati
urutan ke-124 dari 182 negara. Ini berarti jika Indonesia memaksakan diri
terlibat aktif dalam pasar tenaga kerja terampil maka bisa dipastikan ini
justru akan membuahkan pengangguran. Atau jika tidak demikian, akan semakin
meningkatkan pengiriman jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) nonprofesional ke
luar negeri.
10. Apa bahaya MEA bagi fungsi pemerintah?
Perdagangan bebas akan membawa konsekuensi komersialisasi hajat
hidup masyarakat. Bila negara ini menerapkan
liberalisasi, berarti negara semakin lalai terhadap fungsinya sebagai raa’in (penjaga dan pelaksana urusan
rakyat). Pengabaian peran dan fungsi
penting pemerintah pasti mengakibatkan masyarakat makin sengsara harus harus
membayar untuk mendapatkan layanan yang kualitasnya pas-pasan. Akibatnya masyarakat akan terbiasa berpikir,
jika ingin mendapatkan layanan prima maka mereka harus membayar lebih.
Pada era MEA, ketika fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan,
pelayanan terbaik amat minim dinikmati masyarakat, sementara itu arus
investasi, tenaga kesehatan mudah masuk, akan mendorong investor asing
mendirikan Rumah Sakit-Rumah Sakit berkelas Internasional. Minimnya rasa dedikasi tenaga kesehatan dan
desakan kebutuhan hidup mendorong mereka berlomba-lomba bekerja di fasilitas kesehatan
yang mahal. Akibatnya yang dapat
memenuhi hajat pelayanan kesehatan hanya yang mampu membayar mahal. Si miskin harus siap merana dengan jatah
pelayanan kesehatan kelas asal jadi.
Di era MEA pula, karena kemudahan aliran jasa pengajar asing, investasi
dan modal termasuk dari luar ASEAN, akan semakin menjamur sekolah-sekolah yang
dikelola korporasi. Sekolah dan pendidikan tinggi plat merahpun belomba menjual
jasa, sebagai tuntutan dari situasi politik MEA.
Adapun pengelolaan air bersih, air tidak lagi dilihat sebagai
barang milik umum (public good), tapi
menjadi barang komersial (commercial good). Sumberdaya air dikuasai oleh perusahaan air
kemasan, industri air dan perpipaan dikomersialkan melalui kemitraan dengan
swasta. Akhirnya, akses air bersih makin
sulit didapat. Demikian pula dengan sumber
daya energi yang potensinya berlimpah, dikuasai asing. Negara hanya berfungsi sebagai regulator. Akibatnya produksi minyak terus merosot,
disamping harganya yang terus melangit.
Gas yang berlimpah di blok Tangguh, teluk Bintuni, Papua Barat justru diekspor ke Cina dengan harga
murah. Demikian pula listrik. Saat ini lantas muncul pemikiran tentang
energi alternatif, seperti tenaga surya, angina dan gelombang air laut, yang disebut lebih berlimpah, sehingga akan
murah. Nyatanya, penggunaan energi
terbarukan jika dikelola dengan konsep liberal tetap saja akan membuat harga
energi mahal dan langka.
11.
Apa bahaya MEA bagi tatanan keluarga?
Akibat yang paling berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial
yang bermuara tidak saja pada kehancuran keluarga, namun juga kehancuran
peradaban. Saat beban hidup makin
menyesak, setiap laki-laki ‘terpaksa’ menggadaikan tanggung jawabnya sebagai
pencari nafkah keluarga. Kesulitan
mendapatkan akses pekerjaan menjadikan mereka rela melepas status terhormat
sebagai kepala keluarga. Apalagi
strategi massif pemberdayaan perempuan membuat kewajiban mereka beralih
tangan. Wajar jika saat ini di dunia
muslim, fungsi qowwam laki-laki
menjadi perlahan-lahan tereduksi. Ketika perempuan mandiri secara nafkah,
mereka berani menggugat cerai suaminya jika suasana keluarga tidak lagi
menyenangkan. Realitas inilah yang mendasari tingginya angka perceraian dari
tahun ke tahun. Data Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)
menyebutkan lebih dari 60 persen perceraian
terlebih dahulu dilayangkan pihak perempuan.
Tak dapat dipungkiri jika secara tidak langsung rancangan pasar
bebas kapitalistik mengusik, bahkan membawa kehancuran keluarga muslim. Institusi terkecil dalam struktur
kemasyarakatan yang seharusnya berperan dalam pembangunan peradaban rusak
karena peran dan fungsi anggota keluarganya tak lagi selaras dengan tatanan
Allah SWT, Sang Pengatur kehidupan. Keluarga terminal menjadi fenomena dimana
keluarga hanya menjadi tempat sejenak melepas lelah, kemudian semua anggotanya
tersibukkan kembali dengan kepentingan
duniawi yang tak hendak berhenti.
12. Apa dampak MEA bagi perempuan?
Sebagaimana watak ekonomi
kapitalis yang eksploitatif, MEA juga menjadikan perempuan sebagai sumber
pendapatan utama baik dari tenaga kerja ataupun pembelanjaan finansial sebagai
hasil keringat mereka.
Dampak langsung dari penerapan
bebas adalah peningkatan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara
dengan peningkatan ketimpangan tercepat di kawasan Asia Timur. Selain keluarga
miskin, 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh miskin dengan pendapatan hanya
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga miskin. Guncangan ekonomi,
seperti jatuh sakit, bencana, dan kehilangan pekerjaan, berpotensi membuat
kelompok penduduk tersebut kembali jatuh miskin. Tentu saja yang menerima dampak ini secara
langsung adalah kalangan perempuan. Sehingga
perempuan beramai-ramai memasuki dunia kerja dengan dalih mengamankan ‘asap
dapur’ dan sekolah anak-anak. Keinginan ini disambut gembira oleh pengusaha
yang lebih menyukai tenaga kerja perempuan, karena lebih ulet dan tidak rewel.
Begitu pula dengan program-program untuk mengatasi kemiskinan kerap menjadikan perempuan sebagai aktor
penting perubahan, seperti program UMKM.
Yang diuntungkan dari mobilisasi perempuan dan generasi di dunia kerja
tentu saja masih korporasi besar, bukan perempuan itu sendiri.
Apalagi jika perempuan itu
berperan sebagai ibu. Konsekuensi logis
yang harus dihadapi keluarga jika ibu-ibu mereka harus berangkat ‘mencari
penghasilan’ adalah meninggalkan tanggung jawab sebagai pengurus rumah tangga,
termasuk kewajiban melakukan hadlonah
bagi anak yang masih membutuhkannya.
Fatalnya, pemerintah bukannya memastikan fungsi ibu berjalan optimal,
namun justru menerbitkan aturan yang memfasilitasi fenomena mobilisasi pekerja
perempuan. Peraturan Presiden RI Nomor
60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif menyebutkan bahwa salah satu unsur dari
pendidikan anak usia dini adalah penyediaan tempat pengasuhan anak berwujud
Day Care /Tempat Penitipan
Anak. Day care menjadi solusi praktis ibu bekerja. dan penebus rasa bersalah ibu yang harus
meninggalkan anak karena harus bekerja.
Kepunahan generasi juga bakal menjadi momok masa depan. Tuntutan karier membuahkan keinginan perempuan pekerja untuk
menunda kehamilan, membatasi jumlah anak
atau bahkan tak ingin memilikinya.
Fenomena ini telah menimpa Jepang, Korea Selatan dan Singapura yang
telah lebih dulu mengalami
kapitalisasi. Jepang mengalami
penurunan kelahiran yang berkelanjutan sejak tahun 1970an hingga mengakibatkan
kurangnya tenaga kerja pada tahun 1990an akibat berkurangnya penduduk usia
produktif. Pada tahun 2006, tingkat
kelahiran di Korea Selatan hanya 1,1 yang sekaligus menjadi yang terendah di
dunia. Sedangkan Singapura, pada awal 1990-an juga menghadapi masalah
kekurangan tenaga kerja dan beban penduduk usia lanjut.
13. Bagaimana dampak pemberlakuan
MEA terhadap keluarga?
Jika MEA diberlakukan, migrasi
tenaga kerja akan makin meningkat. Saat
tenaga professional dan trampil menyerbu Indonesia, pengangguran akan meningkat. Akibat minimnya lapangan kerja di dalam
negri, satu-satunya peluang kerja yang terbuka adalah menjadi tenaga kasar di
negara-negara tetangga yang lebih makmur, karena masyarakat di sana enggan
mengerjakan pekerjaan kasar.
Menjadi buruh migran pun juga menjadi pilihan bagi sebagian perempuan. Ketika ibu ikut bekerja, bahkan ke luar negeri,
maka otomatis anak-anak tidak atau kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan
yang memadai di dalam rumah. Padahal seharusnya keluarga menjadi tempat
pembentukan karakter anak secara mendasar.
Kesibukan Orang tua, yaitu ayah
dan ibu dalam mencari nafkah,membuat anak-anak
tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang optimal. maka mereka mulai mencari kesibukan
sendiri. Krisis identitas, kurangnya
kemampuan kontrol diri dan kuatnya pengaruh buruk lingkungan membuat anak-anak
remaja terseret dalam perilaku menyimpang seperti seks bebas dan narkoba.
Demikian halnya tugas perempuan
sebagai istri, turut terabaikan. Hal ini akan memicu terjadinya perceraian dan
pengabaian pengurusan anak dengan segala konsekuensinya. Akibatnya fungsi
keluarga tidak akan terwujud, demikian juga dengan ketahanan keluarga. Yang akan mengakibatkan goyahnya bangunan
keluarga. Jika bangunan keluarga goyah,
pasti akan menyebabkan goyahnya masyarakat, yang akan berakibat banyaknya
kerusakan di tengah masyarakat yang akan mengancam kekuatan bangsa dan
negara.
Itulah yang akan terjadi ketika
Masyarakat ASEAN terbentuk, baik dalam pilar keamanan, sosial budaya maupun
ekonomi. Sepintas memang seolah menjanjikan perbaikan kehidupan
masyarakat. Namun bila ditelaah dengan
seksama, nila-nilai kehidupan yang akan diwujudkan justru akan merusak tatanan
keluarga dan menghancurkan ketahanan keluarga.
14. Apakah dampak MEA bagi
generasi?
Generasi juga menjadi korban
sistem pasar bebas ini. Karena
pemerintah bekerja atas dasar hukum ekonomi, maka strategi pendidikan yang
dikembangkan berorientasi pasar. Simak
saja studi yang kian menjamur adalah studi
yang dibutuhkan dunia usaha, bukan lagi mata ajaran yang bernilai
strategis bagi peradaban. Wajar jika
pendidikan semacam ini menghasilkan generasi yang hanya bercita-cita ‘bisa diterima di dunia kerja.”
Generasi juga menderita krisis
identitas karena ‘kehilangan’ figur
ayah-ibunya. Wajar pula jika
kasus asusila dan kriminal saat ini juga diperankan oleh kaum muda. Karena itu Prof. Dr. Mohd. Kamal Hassan dari
Institut Antarabangsa Tamadun dan Pemikiran Islam (Istac) Malaysia
mengungkapkan bahwa masyarakat modern
kapitalis amat rentan dilanda sindrom budaya seperti di Chicago dan New
York. Yakni masyarakat yang mempunyai taraf kehidupan dan
teknologi yang begitu tinggi namun miskin dari segi peradaban.
15. Bolehkah sebuah negara menganut konsep pasar bebas?
Islam mengharamkan konsep pasar
bebas yang dipropagandakan oleh Amerika dan negara-negara barat. Di samping
secara faktual jelas-jelas merugikan, sejatinya kebijakan tersebut tidak lain
merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (freedom of ownership) yakni kebebasan untuk memiliki dan menguasai berbagai jenis
komoditi. Padahal di dalam Islam konsep kemilikan telah diatur dengan jelas.
Seseorang individu hanya berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam
kategori milkiyyah
fardiyyah. Sementara untuk kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) dan negara (milkiyyatu
ad daulah) berada di tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan
rakyat.
Di samping itu, pasar bebas
pada faktanya merupakan alat bagai negara-negara kufur mampu mencengkram dan
mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut secara tegas
dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلً
“Dan Allah
tidak memperkenankan orang-orang Kafir menguasai orang-orang beriman.” (QS
al-Nisa [4]: 141)
Hal ini juga dikemukakan oleh
Syekh Taqiuddin An-Nabhany. Menurutnya perdagangan luar negeri yang berbasis
teori free market (hurriyatu
al-mubadalah) yakni perdagangan luar negeri antara negara
dilakukan tanpa hambatan seperti tarif bertentangan dengan Islam. Alasannya perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara negara
Islam dengan negara lain berada dalam tanggungjawab negara. Sebagaimana difahami bahwa negara memiliki otoritas untuk mengatur
berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain termasuk hubungan antara
rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan
ataupun yang lainnya. Oleh karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan
bebas tanpa kontrol.
Di samping itu negara Islam
memiliki otoritas untuk mengizinkan atau melarang komoditas tertentu untuk
diekspor. Syara’ juga telah memberikan tanggangjawab kepada negara untuk
mengatur pedagang ahlu al-harb dan mu’ahid. Termasuk dalam hal ini memberikan pelayanan kepada rakyatnya yang berdagang
baik di dalam maupun di luar negeri. (Taqiuddin An-Nabhany, Nidzam Al Iqtishady
fi Al Islam)
Walhasil, dalam membuat
berbagai perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain negara Khilafah Islamiyyah—yang insya Allah akan tegak
dalam waktu yang tidak lama lagi–wajib terikat pada syariat Islam dan
sedikitpun tidak boleh menyimpang darinya. Berbeda dengan negara ini yang telah
menyimpang jauh dari syariah Islam.
16.
Bagaimana cara melawan
MEA?
Hegemoni Barat yang
sudah sangat kuat ini tidak mungkin bisa dilawan dengan bersatunya
kelompok-kelompok masyarakat, atau berkumpulnya individu-individu atau bahkan
berkumpulnya para perempuan.
MEA adalah strategi
dari suatu sistem. Maka yang mampu melawannya adalah kekuatan sistem pula,
bukan kekuatan kelompok apalagi kekuatan individu. Karena itu menegakkan sebuah
sistem yang akan menata perekonomian dunia dengan cara yang tepat adalah suatu
keharusan. Dan hal ini hanya bisa dilakukan ketika ada sebuah institusi yang
akan menerapkan sistem ekonomi tersebut. Dan Islam yang diterapkan dalam sebuah
Negara yakni Daulah Khilafah Islamiyyah dengan sistem ekonomi yang diridloi
oleh Allah adalah jawaban atas semua ini.
[Tim Lajnah Siyasiyah HTI]
Comments
Post a Comment