Kau datang dan menempati ruang kosong di bangku sebelah tepat disampingku. Senyum jenaka yang menghiasi bibirmu menyapaku, aku termangu. “Apa kabar, saudara?”, katamu Aku tersenyum ke arahmu, mengamati mata berbinar itu, lama. “aku baik..., bagaimana denganmu?” “Alhamdulillah, tidak ada yang bisa mewakili kabarku selain Alhamdulillah”. Senyum yang masih sama tak mampu buatku bertanya lagi. “ya... Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah aku masih bisa melihatmu lagi.” “oke saudara, kemana kita akan pergi menemukan ‘orang yang sedang menunggu hidayah’ kali ini?” “rute biasa. Tetapi kali ini dengan ekstra MaBa” “oke! Mari berangkat...” “ya...” Melati, kau selalu seperti ini. Tak memberi kesempatan untukku menanyakan apa yang lagi terjadi di selang waktu-waktu kita tak bertemu. Tak memberi waktu bagiku untuk mengusap air matamu atau menenangkan risaunya batinmu. Bahkan segurat gelisah tak kutemukan di wajahmu yang selalu berbinar kala bersama dengan saudara-saudar
inilah kebebasan yang hakiki, tak terkekang nafsu dan keinginan, hanya tulus penghambaan