Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2016

Ukhuwah

Kau datang dan menempati ruang kosong di bangku sebelah tepat disampingku. Senyum jenaka yang menghiasi bibirmu menyapaku, aku termangu. “Apa kabar, saudara?”, katamu Aku tersenyum ke arahmu, mengamati mata berbinar itu, lama. “aku baik..., bagaimana denganmu?” “Alhamdulillah, tidak ada yang bisa mewakili kabarku selain Alhamdulillah”. Senyum yang masih sama tak mampu buatku bertanya lagi. “ya... Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah aku masih bisa melihatmu lagi.” “oke saudara, kemana kita akan pergi menemukan ‘orang yang sedang menunggu hidayah’ kali ini?” “rute biasa. Tetapi kali ini dengan ekstra MaBa” “oke! Mari berangkat...” “ya...” Melati, kau selalu seperti ini. Tak memberi kesempatan untukku menanyakan apa yang lagi terjadi di selang waktu-waktu kita tak bertemu. Tak memberi waktu bagiku untuk mengusap air matamu atau menenangkan risaunya batinmu. Bahkan segurat gelisah tak kutemukan di wajahmu yang selalu berbinar kala bersama dengan saudara-saudar

Apa Kabar Sahabat?

Sahabat, aku ingin meminta maaf mu, karena sosok ku tak membayangi hari-harimu yang kadang gersang, bertahun-tahun berlalu dan menyisakan, sepenggal nama ku dalam ingatan, mungkin bagimu aku sama seperti manusia yang hanya singgah sebentar dalam hidupmu, mengisi sebagian jejak waktumu, terkhusus kala masih biru, dan dunia yang dipenuhi mimpi-mimpi. Sahabat, aku ingin meminta pengertianmu, sering aku diterkam ragu, untuk sekadar mengatakan 'hai' di wall facebookmu, atau untuk menanyakan bagaimana kabar keluargamu kini, entah seperti seribu alasan memagariku, dari tersenyum di depanmu. kita kini berbeda. ya, seperti katamu. tetapi kita bukan air dan api yang sukar bersatu, kita manusia yang punya logika, dan punya rasa untuk saling mengerti dan memaklumi, tentang mengapa jarak kita bisa selebar ini. sahabat, apa kabar kau kini? terakhir kau mengatakan kau amat suka menggambar, dan aku berpuisi. masihkah sama? aku masih bertean dengan sosokmu dalam kena

Filosofi Kacamata

Bagi orang bermata minus seperti saya, keberadaan kacamata cukup urgen kehadirannya, bukan sekadar sebagai penghias mata. Kacamata mampu membuat penglihatan saya jauh lebih baik, membuat jelas pandangan-pandangan yang sebelumnya kabur, membuat saya dapat mengenai wajah orang, membuat saya dapat membaca papan nama jalan, melihat detil kotoran dan lubang-lubang yang ada di jalan, dan sebagainya. Demikian juga pandangan saya dalam menilai kehidupan. Saya punya kacamata tersendiri untuk memberikan penilaian dan memandang kejadian yang ada di sekitar. Sebagai seorang muslim, kita memang harus mengikatkan diri dengan hukum syara’, menimbang baik-buruknya suatu perbuatan dengan ketetapan Allah, bukan dengan pertimbangan akal semata, konstitusi, pancasila atau pendapat ahli-ahli barat. Bukan. “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, supaya mere

Uji(an) Diri

Kembali aku beradu, Dengan selembar kertas bisu, Yang menguji diri ku, Tentang amalan ilmu ku, Setiap hari dalam masa sekolah berganti, Berjalan hilir mudik dengan kaki, Panas-hujan ku lalui, Dan niatku tulus untuk sang Rabbi, Bukan memburu materi, Atau selembar ijasah dan toga bertali Beberapa nomor lagi tak terisi, Kelas berbisik tak terkendali, Mencari jawaban kesana kemari Ah, aku memang belajar hari ini, Tapi mana tahulah aku soal apa ini? Aku diuji lagi, Mau diam saja atau turut beraksi, Melirik samping kanan dan kiri, Ya… aku sudah tahu, Semoga kejujuranku ini bisa menyelamatkanku, Setidak-tidaknya di hari pertanggung jawaban nanti Akhirnya aku berdiri, Melangkah penuh percaya diri, Meski jawaban ragu menghiasi, Inilah usaha maksimal yang aku miliki, Dengan usaha sendiri. Terinspirasi Suasana Ujian.