Hujan mulai rintik dan aku
memutuskan segera menepi di bawah atap ruko yang paling cepat bisa ku jangkau.
Tak lama berselang, hujan turun dengan derasnya. Sambil mengutuk diri dalam
hati mengapa bisa lupa membawa payung, dan kenapa pula hujan turun saat ia lupa
membawa payung, kenapa tidak kemarin-kemarin saat payung itu tak pernah
beranjak pergi dari dalam tasnya.
Beberapa orang tampak berhenti dan
turut berteduh di teras-teras ruko lainnya. Di samping ku berdiri pula sesosok
remaja tanggung berseragam abu-abu yang bajunya basah sebagian.
Dahi ku mengernyit. Apa yang
dilakukan seorang pelajar di jam segini, jam 09.00 pagi. Apakah dia tidak
sekolah. Atau mungkin dia sedang membolos. Dari tampang dan juga seragamnya ku
nilai ia seperti anak nakal yang tak taat peraturan. Lalu… aih, mengapa
prasangka ku jadi liar seperti ini. lalu iseng saja aku memulai percakapan
dengannya.
“tidak sekolah ,dek?”
Dia melirik sekilas, mungkin
mengamati penampilanku yang berjilbab dan berkerudung.
“sekolah.” Jawabnya singkat
“sekolah dimana?”, tanyaku lagi
“di SMA Nusa”,
“oh, yang di jalan layang itu ya?”
“iya”
“terus kenapa jam sekolah begini
masih ada di luar sekolah?”
Ia diam, memandang lurus ke badan
jalan. Mungkin tak suka dengan pertanyaan ku yang menyelidik.
“kalo tidak mau dijawab ya tak
mengapa. Kalo saya mah mau kuliah ini, Cuma karena hujan… ya, mungkin saya akan
terlambat.” Yah, sekalipun tidak penting tapi saya cerita saja.
“kakak kuliah dimana?” adik itu
balik nanya.
“oh, kakak kuliah di Universitas
Ibnu Sina.”,
“oh… ibnu sina itu ilmuan muslim
yang dipanggil Aviccena oleh orang barat kan? Sang penemu di bidang
kedokteran.”
Saya memandang anak SMA itu dengan
takjub.
“iya dek, dia memang ilmuan muslim
yang sangat terkenal, sama halnya dengan al-khawaritsmi, ibnu al haitsami dan
lain-lain. Cuma anehnya sekarang orang lebih tahu ilmuan barat daripada ilmuan
islam.”
“betul itu kak. Sebenarnya saya
sudah bosan sekolah. Saya melihat sekolah itu seperti tempat untuk mencari
nilai dan ijazah. Guru-guru mengajar bukan untuk membagi ilmu tetapi untuk
mencari nafkah. Saya ingin seperti ibnu Sina. Saya ingin mencari ilmu dan bukan
mencari nilai. Saya ingin sekolah bukan karena sekolah itu cara untuk
mendapatkan pekerjaan. Tetapi yang ada di sekolah saya dan di sekolah-sekolah manapun
yang saya lihat sama saja. Saya bahkan lebih tak suka dengan dengan sekolah
yang berlabel islami, karena kesannya kalo kita mau paham agama ya masuk
sekolah agama, kalau mau tau ilmu sains ya masuk sekolah umum. Yang mirisnya
lagi dari menilaian saya, mereka yang masuk sekolah agama tujuannya sama dengan
yang masuk sekolah umum, yaitu untuk mendapatkan pekerjaan. “ jelasnya panjang
lebar.
Aku agak terpukau mendengar
penjelasannya yang panjang lebar. Sedikit terpersit kagum pada adik ini, karena
di usianya yang masih remaja ia berpikir kritis pada fenomena yang terjadi
disekitarnya. Saya akhirnya mengerti kenapa di jam pelajaran sekolah seperti
sekarang ini ia masih ada di luar sekolah, karena rupanya ia sudah bosan…
“wah, jujur saya tidak nyangka adek
bisa berpikiran kritis seperti itu. Jadi ceritanya sekarang adek sudah bosan
sekolah ya?”
“tepatnya saya bosan sekolah di
sekolah yang berorientasi materi, saya ingin seperti Aviccena kak, atau seperti
Muhammad Al-Fatih yang diusianya yang baru 21 sudah berhasil memimpin pasukan
untuk menaklukkan konstantinopel.”
“kenal sama Aviccena dan Muhammad
Al-Fatih dari mana dek?”, selidikku penasaran.
“dari internet kak. Atau dari
situs-situs islam.”
“adek terispirasi mereka ya?, kalo
pendapat saya sih dek, di sistem pendidikan yang sekarang, mustahil ada
orang-orang yang bisa seperti Aviccena ataupun Muhammad Al-Fatih. Mereka adalah
generasi yang terbentuk dari sebuah sistem yang kurikulum, pengajar dan
lain-lainnya berlandaskan islam. mereka adalah orang-orang yang pada masa islam
menjadi peradaban emas bagi dunia. Dan saat itu, pendidikan tidak seperti
sekarang yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Tetapi pada saat itu
islam tak terpisahkan dari kehidupan.”
“iya, saya juga pernah membaca
itu.”
“nah adek, menjadi bosan dengan
keadaan sekarang itu tidaklah cukup, tetapi sebagai seorang muslim, kita
diperintahkan untuk mengubah kondisi yang bisa kita ubah. Karena ingat, Allah
berfirman, ‘Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri
yang mengubahnya’.”
“jadi, apa yang bisa saya lakukan
kak?”
“berjuang, tetapi sebelum berjuang,
cari tahu dulu ilmunya, bagaimana perjuangan yang benar dan hakiki. Bagaimana
perjuangan yang mengantarkan kepada kebangkitan. Jangan putus sekolah, tetapi
teruslah belajar, terutama belajar tentang islam yang sesungguhnya.”
Aku menengok ke arah adik itu. Tampak berbinar matanya memandang hujan yang
mulai mereda.
Dan ia hanya tersenyum sekilas
sebelum beranjak pergi dengan motornya.
“boleh tahu nama adik siapa? Saya
biasa membina adik-adik di SMA Nusa. Siapa tahu kita bisa bertemu lagi”
“Salahuddin Al-Ayyubi, panggil saja
saya Ayyub.”
Dia pun berlalu. Seiring hujan yang
mereda, matahari menampakkan sinarnya kembali. Hari ini bukan akhir, kebobrokan
system juga semakin Nampak tetapi akhirnya belum jua pasti. Semoga Ayyub, aku,
dan juga remaja lainnya ‘mau’ menjadikan islam sebagai landasan kehidupannya,
kehidupan masyarakatnya dan negaranya.
***
NB: cerita ini hanyalah fiktif
belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat atau peristiwa maka itu tidak
disengaja. Penulis masih penulis amatiran yang baru belajar nulis. Komentnya sangat
ditunggu. Semoga ke dapan cerpen saya semakin baik. #justStayRead. Ok. Semoga menginspirasi
Comments
Post a Comment