“Luar
Biasa!”, begitu jawaban saya ketika ditanya bagaimana rasanya setelah selesai mengajar matematika kelas delapan
di SMP Negeri 3 Makassar untuk yang pertama kali. Disusul dengan tampang saya yang setengah depresi
menanggapi pertanyaan tersebut.
Sebagai
mahasiswa di jurusan kependidikan, PPL (Program Pengalaman Lapangan) merupakan
mata kuliah wajib dengan 4 SKS yang membelajarkan mahasiswa tentang proses
belajar-mengajar langsung di medan tempurnya (sekolah). Bermodalkan nekat dan
cerita-cerita seadanya dengan kakak senior, tanpa pembekalan dari pihak kampus
(dalam hal ini UPT PPL UNM), 4 Maret 2016 berangkatlah kami ke sekolah yang akan ditempati
praktek, welcome to SMPN 3 Makassar.
Sekilas,
muncul bayangan menyenangkan mengajar anak-anak baru gede berseragam
biru-putih, mengingat saya punya seorang adik perempuan usia SMP yang lengket
dengan saya. Tetapi sepertinya pengalaman mengajar saya selama kurang lebih tiga bulan
kedepan bakal penuh dengan ombak dan badai.
Hari
pertama penerimaan mahasiswa PPL oleh kepala sekolah setempat, kami disambut
dengan tangan terbuka, mengingat sekolah tersebut sudah sering mengadakan kerja
sama dengan UNM. Jadi wejangan dari kepala sekolah kepada kami hanya seputar kompetensi
yang harus kami miliki untuk menjadi guru yang baik: pedagogik, sosial, dan dua
lainnya saya lupa :p. selepas itu kami langsung diserahkan ke guru pamong
masing-masing yang selanjutnya akan membimbing kami secara langsung.
Di hari
pertama itu, saya dan seorang rekan ppl saya dari jurusan yang sama (Nisa)
diajak berkeliling dan memperkenalkan diri dengan siswa di kelas yang diajar
oleh guru pamong kami. Langsung saja di hari yang sama ibu Ratna, guru pamong kami
membagi-bagikan kelas yang esoknya sudah bisa kami ajar sendiri. (well,
berhubung guru pamong saya ini esoknya berangkat umroh jadi kami langsung
learning by doing saja.) jelasnya kami akan 'dilepas' untuk menghandel kelas
dan menanganinya berdasarkan ‘pemikiran’ kami sendiri.
Hari
sabtunya, teman sejawat saya, Nisa, langsung masuk mengajar matematika di
kelas. Para siswa tak terlihat antusias menyambut kedatangan kami, selidik punya selidik,
mereka di semester sebelumnya juga diajar oleh mahasisa PPL dan respon mereka
kurang bagus gitu. Anak-anak di kelas itu kurang memperhatikan sang guru
(mahasiswa PPL) mengajar, sesekali menanggapi ocehan teman-temannya, ada yang
bermain hape, ada yang bercermin dan merias diri saat belajar-mengajar, ada
yang cerita, pokoke kelas ribut bin berisik. Ketika ditegur eh, ternyata gak
ngefek. Sungguh negegemesin!
Jujur,
saya sering membanding-bandingkan tingkah laku anak-anak jaman sekarang dengan
anak-anak semasa saya (kalian juga, kan?). semasa saya, senakal-nakalnya
kami, kami tidak kurang ajar dan takut
dengan ancaman guru serta masih menaruh hormat pada orang yang lebih tua. Tetapi
seiring majunya zaman, moral dan kesopanan betul-betul hanya tinggal slogan
belaka yang disebut-sebut setiap upacara.
Hari
pertama mengajar, saya benar-benar dibuat kelabakan dan tidak tahu harus
berbuat apa menghadapi keusilan mereka. Bayangkan, ketika saya masih ada di
kelas, ada beberapa siswa yang bermain dan melumuri seragam temannya dengan
saus. Ditegur berkali-kali tetapi tidak mau juga mendengar, diberi tugas tetapi
enggan untuk mengerjakan. Saya seorang diri di kelas menghadapi sekitar hampir
40 lebih siswa. Terang saja, belajar menjadi sangat tidak kondusif. Ingin cuek
dengan mereka-mereka yang tidak mau memetik ilmu dari saya, rasanya saya juga
tidak tega. Help, what can I do for change them?
Begitulah
curahan hati si calon guru di hari-hari pertamanya di sekolah. Tidak seharusnya
saya melambaikan bendera putih, kan? Saya harus memutar otak memikirkan siasat
apa agar saya betul-betul dapat melaksanakan tugas saya sebagai seorang pendidik. Ingat,
pendidik, yang tak sekadar pen-transfer ilmu.
Sungguh… saya masih butuh banyak belajar…
Sungguh… saya masih butuh banyak belajar…
Comments
Post a Comment