Dan adalah gelisah yang merantai
Mengunci dalam ribuan bisik
Mengurung dalam waktu yang terasa bergegas
Ah, apa ini?
Ada semacam rasa di sanubari
Yang mendorongku tegar, padahal sedang gusar
Yang membuatku tenang, meski air mata
menggenang
Yang menghantarku bertemu jalan, padahal pelik
seakan gunung yang menghadang
Rasa yang kian menyala, kala kubersimpuh
Kian terasa, kala kubersujud
Waktu berputar dan kernyit dahi kian dalam
Seberapa lama lagi akan terinsafi
Seberapa lama lagi untuk menyadari
Ah, duhai diri, sadarkah kau itulah panggilan
iman
Panggilan keyakinan
Usah cari alasan lagi, duhai diri
Kau rindu dekapan RabbMu
Kau ingin tersungkur mengadu
Kau mau meratap, menangis, meminta ampunan
TuhanMu
Ah, astaghfirullah, astaghfirullah
Dan Muhammad Rasul Allah,
Seakan tersuruk, jauh namanya tak kau sebut
Terlupakan, dikalahkan sosok sosok manusia
yang lebih kau puja
Bak dewa
Lalu kau anggap apa tumitnya yang berdarah
kala dilempari penduduk Thaif?
Lalu kau anggap apa makna ‘ummati ummati
ummati’?
Kitab yang kau akui kebenarannya, sudahkah kau
bela?
Lupakah engkau kala menetes air mata Abu Bakar
menahan sakit kala kakinya menjadi penutup lubang ular, wujud cintaNya pada
Rasul
Lupakah engkau bagaimana ketika Umar
mengangkat pedangnya, tak terima tatkala Rasul dikabarkan wafat, hanya karena
cinta
Atau apakah engkau juga lupa, ketika Bilal
sang muadzin Rasul, senantiasa tercekat dan tak pernah bisa melangsungkan adzan
setelah Rasul wafat, hanya karena cinta
Ya Nabi, salam ‘alaika
Ya Rasul, salam ‘alaika
Ya Habib, salam ‘alaika
Dan doa samara ideologis seakan menjadi
untaian kata semata
Tak berwujud, tak bernyawa
Ketenangan yang diharap, justru tercabik oleh
kericuhan, kesulitan ekonomi
Kebahagiaan yang dimimpi, tergadai oleh materi
materi
Yang tak berujung untuk dicari
Kasih sayang yang harusnya mengalir, tak
sempat lagi tertetes
Atas dalil keegoisan diri
Duhai diri, kemana visi keluarga yang kau
bangun?
Hilangkah, lupakah?
Bagaimana bahtera melaju jika tak tau arah
yang dituju
Bagaimana bahtera kan mengarung samudera,
kalau rangka tak dibangun sekuat baja
Tidak! Kau tak bisa berhenti pada titik rindu
semata
Terbelenggu hanya pada kata ‘mau’
Bukankah Ibunda Hajar lari berkali kali demi
setetes air untuk Ismail kecil?
Sungguh kau tak bisa diam saja!
Lalu duhai diri, seberapa kuat dirimu?
Melepas cengkraman gurita kehidupan sekuler
Yang meninggalkan Allah pada sudut sudut
kehidupan rohani
Yang meniadakan Allah pada meja meja
pengadilan, mahkamah keputusan, dan kursi kekuasan
Tidak jangan bersedih!
Sejatinya kau tak pernah sendiri!
Dan memang tak bisa sendiri!
Bukankah batu bata itu kokoh saat tersusun
rapi menjadi bangunan?
Mulailah, teruslah, bergegaslah
Tegakkan bangunan kehidupan yang berkah dalam
ketaqwaan
Kala kalam Allah merasuk pada tiap sendi
keseharian
Hingga cinta dan rindu padaNya tak lagi
sekedar asa
Hingga pesan junjunganNya, telah mewujud nyata
Dibawakan oleh saya dan Ummu zhahra dalam Kongres Ibu Nusantara (KIN4) MHTI Makassar
Sabtu, Ahad 18 Desember 2016
di Ballroom graha pena
Comments
Post a Comment