Skip to main content

Muslim Myanmar, Saudara kami yang Malang



Seperti menonton adegan kejam, seperti membaca film tragis menakutkan, tetapi kisah mereka nyata. Kisah para pengungsi Myanmar yang memilih kabur daripada harus tersiksa di negeri mereka, tanah kelahiran mereka. Berikut secuil kisah miris yang saya copy dari jawapos.com

Dor... Dor... Kapten Kapal Menembaki Penumpang yang Protes
( Aqwam F. Hanifan, Langsa, Aceh )
Hidup seolah hanya menunda kematian bagi para pengungsi Myanmar dan Bangladesh. Mereka tidak tahu harus ke mana lagi untuk bertahan. Maka, jadilah mereka manusia perahu yang terombang-ambing gelombang ketidakpastian.
   SAYIDUL Islam, 17, dan Muhammad Rafiq, 21, adalah remaja etnis Rohingya yang sebelumnya hidup di kamp pengungsi UNHCR di Kutupalong, Bangladesh. Hidup jadi orang miskin yang terasing di negeri orang lain amat menyiksa.
   Karena itu, saat agen perdagangan manusia, Nurul Haq, datang menggoda untuk menjadi imigran gelap ke Malaysia, dengan sigap mereka menerima tawaran tersebut, meski harus merogoh kocek 4.000–5.000 ringgit (Rp 14 juta–Rp 18 juta) per orang.
   ’’Saya dapat uang dengan menjual segala apa yang dimiliki keluarga kami,’’ kata Rafiq menyambut ketika saya temui di tempat penampungan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh Utara, Jumat (22/5).
Suatu hari pada akhir Januari 2015, pukul tujuh pagi Rafiq dan para pengungsi Rohingya berangkat dengan menggunakan perahu kecil berkapasitas delapan orang dari Kota Chittagong –kota kecil sekitar 242 kilometer dari ibu kota Dhaka– menuju tengah laut.
   Butuh waktu empat jam perjalanan sebelum mereka dipindah para smugglers (penyelundup orang, Red) ke boat yang lebih besar dan mampu diisi 25 orang. Perahu sedang itu amatlah sederhana. Hanya kain terpal yang menjadi tudung pelindung dari sengatan matahari dan hujan. Dengan perahu motor itu, mereka semakin menjauh dari daratan, menuju tengah-tengah Teluk Bengala. ’’Katanya, waktu perjalanan ke Malaysia sehari semalam,’’ lanjutnya.
   Siapa sangka, di tengah laut yang mahaluas itu, mengambang perahu besar yang siap membawa imigran ke tanah harapan. Para smugglers memang memaksa para imigran Bangladesh tersebut melakukan transit berkali-kali untuk mencegah penangkapan aparat.
   ’’Mereka (smugglers) bukan takut ditangkap. Tapi, takut diperas polisi dan tentara di Bangladesh dan Myanmar yang terkenal korup. Lewat radio, kapten kapal beberapa kali kontak dengan tentara Myanmar meminta agar jangan terlalu mahal dalam meminta sogokan,’’ ungkap Rafiq.
   Kapal besar itu ternyata bermuatan 363 pengungsi Rohingya yang terusir dari Myanmar. Saat itu, kata Rafiq, kapal dalam kondisi kosong. Jangkarnya dilepas, mesin dimatikan. Kapal itu tidak akan berangkat sebelum muatannya penuh. Alhasil, yang naik duluan –seperti para pengungsi Myanmar itu– paling menderita karena harus menunggu berhari-hari lamanya.
   ’’Kami sendiri tinggal di kapal sampai 21 hari menunggu perahu-perahu kecil berdatangan. Kadang sehari ada 10 orang naik, kadang 20 orang yang bergabung di kapal itu. Kapten memutuskan berangkat jika kapal sudah penuh,’’ ujar Rafiq.
   Hari ke-22, mesin menderu dan kapal melaju ke perairan Thailand. Dibutuhkan waktu tujuh hari tujuh malam sebelum mereka sampai di perbatasan. Kontak dengan militer Thailand terjadi, tapi kapal dilarang masuk ke perairan Negeri Gajah Putih itu. Terungkitnya kasus sindikat perdagangan manusia di Songhkla membuat pemeritah Thailand memperketat penjagaan di wilayah perairan.
   Buntutnya, para imigran itu kembali terombang-ambing selama 41 hari di Laut Andaman. Selama dua bulan kurang itu, mereka amat menderita. Kapal yang sesak membuat mereka tak bisa bergerak leluasa. ”Kami tak bisa bergerak atau berdiri. Kami hanya bisa jongkok. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, kami memandang laut dengan penuh keputusasaan.”
   Beruntunglah mereka yang berada di dek kapal karena ada udara laut segar yang bisa dihirup. Lain halnya dengan mereka yang membayar murah dan ditempatkan di dalam lambung kapal. Ada tiga tingkat ruangan untuk mereka. Selisih tingkat per tingkat hanya 1,5 meter. Saat berdiri, otomatis kepala mereka akan terbentur atap kayu.
   Bukan hanya itu, kondisi ruangan tersebut amat pengap. Sempit dan bau tidak keruan. Sebab, aktivitas kencing atau buang kotoran dilakukan para penumpang di sekitar mereka berdiri. Kondisi itu dialami para pengungsi Rohingya yang sudah dua bulan terkatung-katung di tengah laut.
Terlebih ketika kapal itu mendapat limpahan 558 penumpang baru dari tiga kapal kecil dari Bangladesh. Total lebih 900 penumpang dalam satu kapal yang seharusnya hanya bisa menampung 400 orang. Begitu berjejalan!
   Pada hari ke-70 pukul 7 malam, kata Rafiq, mesin kapal dihidupkan kapten kapal berkebangsaan Thailand itu. ”Kalian semua akan pergi ke Malaysia,” ucap sang kapten, lalu disambut sukacita seluruh penumpang. Namun, setelah empat jam berlalu, kapal kembali berhenti. Semua orang terdiam dan saling bertanya-tanya. ”Ada apa ini? Ada apa?”
   ”Dor...dor...dor...” Tanpa diduga, kapten kapal mengeluarkan pistol revolver yang terselip di pinggangnya dan menembak para penumpang yang memprotesnya dan banyak omong. Hanya lelaki dewasa yang dibunuh karena perempuan dan anak-anak berada di belakang kapal.
   Tindakan kapten itu diikuti lima anak buahnya. ”Ada 70–80 orang yang mereka tembak. Saya tak bisa menghitungnya,” ucap Muhammad Tayyub Ali, 25.
   Penderitaan semakin menjadi setelah si kapten memilih kabur bersama anak buahnya. Tersiar kabar, si kapten dan anak buahnya lari karena akan ditangkap tentara AL Thailand. Dia memilih meninggalkan para pengungsi terkatung-katung di Laut Andaman.
   Untung, salah seorang pengungsi bisa mengendalikan perahu. Dia adalah Muhammad Ami, 46, yang mampu membawa perahu itu berjalan sehari semalam tanpa tujuan. Kapal kembali terhenti karena kehabisan bahan bakar. Saat itulah, datang kapal Angkatan Laut Thailand. Namun, begitu mengetahui yang terdampar kapal pengungsi Rohingya, kapal Thailand tak bersedia mendekat. Mereka hanya mengamati dari kejauhan, kemudian pergi.
   Pukul 12 siang (Tayyub lupa tanggalnya), datanglah empat nelayan Indonesia yang berbaik hati memberikan bantuan makanan, minuman, dan bahan bakar. Bahkan, mereka mengajari para pengungsi itu mengemudikan kapal secara benar.
   ”Di mana ini? Kami ingin ke Malaysia,” ujar Tayyub kepada nelayan Indonesia itu.
   ”Ini adalah perbatasan Indonesia. Dan, itu di sana Malaysia,” jawab nelayan tersebut seperti ditirukan Tayyub.
   Setelah nelayan pergi, kapal kembali bergerak. Namun, karena tak tahu arah, kapal malah mengarah ke wilayah Indonesia. Saat malam kapal itu dihentikan kapal patroli TNI-AL dan polisi air yang mendekat. Kapal TNI-AL memberikan bantuan 10 dus air mineral, 10 dus mi instan, dan 2 boks biskuit untuk para pengungsi. Tetapi, setelah itu, kapal patroli Indonesia tersebut menggeret kapal pengungsi Rohingya ke luar wilayah Indonesia menuju Malaysia. Perjalanan itu memakan waktu sehari semalam.
   Sampai di wilayah teritori Malaysia, kapal pengungsi ditinggal pergi. Selang esoknya, datanglah tiga kapal imigrasi dan Tentera Laut Diraja Malaysia.
   ”Tuan, kami benar-benar dalam masalah. Anak-anak dan para perempuan menangis semua. Kami kelaparan dan kehausan, berbulan-bulan kami di lautan,” kata Tayyub kepada tentara Malaysia itu.
   ”Oke-oke, kami akan mengedrop kalian ke kapal di belakang dan membawa ke Malaysia,” ucap seorang tentara seperti ditirukan Tayyub.
   Tambang kapal pun kembali dikaitkan. Saat senja, perjalanan menuju Malaysia dimulai. Selama 12 jam di tengah gelap gulita malam, para pengungsi merasa senang karena hampir sampai tujuan.
Tapi, harapan yang sudah di ubun-ubun itu ternyata hanya ilusi. Sebab, ternyata tentara Malaysia tersebut membawa kapal pengungsi tersebut kembali ke perairan Indonesia. Setelah kapal pengungsi tiba di wilayah Indonesia, mereka memotong tali kaitannya dan melenggang pergi, meninggalkan pengungsi yang kembali linglung di tengah laut.
   ”Para penumpang pun menangis dan berteriak histeris. Ya Allah... Ya Allah... Mereka tahu ini bukan Malaysia. Sejauh mata memandang hanya ada laut, laut, dan laut. Apa salah kami kepada mereka? Sudah tiga kali kami diperlakukan dan dibohongi,” ucap Tayyub lirih.
Beberapa penumpang yang stres dan frustrasi akhirnya memilih menceburkan diri, berenang menyeberangi lautan luas. Entah bagaimana nasib mereka selanjutnya.

Dendam di Selat Malaka yang Dibawa ke Kuala Langsa

Para pengungsi Rohingya, Myanmar, yang ditampung di Pelabuhan Kuala Langsa, Langsa, Aceh Utara, punya banyak kisah nelangsa. Tidak hanya menahan lapar dan letih, mereka juga menahan rasa dendam.

   Lelaki itu tidak bisa tidur. Malam sudah larut. Tidak ada angin yang bersilir. Tetapi, udara terasa lebih dingin dan lembap. Meski begitu, lelaki tersebut tidak bisa merasakannya. Dadanya berdesir. Hatinya bergidik.
   Dia beranjak ke luar tenda, menghampiri saya yang sedang asyik berbincang dengan para penduduk lokal Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa.
   ’’Hei, kenapa tidak tidur?’’ tanya saya yang sedikit mengagetkannya. Dengan bahasa Inggris yang cukup fasih, Muhammad Tayub Ali, 28, salah seorang pengungsi etnis Rohingya itu, pun mulai bercerita.
   Ali belum percaya dengan nasib yang menyeretnya. Semua kejadian itu di luar rencana yang telah disusunnya selama ini. ’’Malaysia. Di sana ada harapan dan pekerjaan,’’ ungkapnya Rabu (20/5).
Dia mengaku tidak pernah tahu perjalanan nasib. Masa depan pun tidak dihiraukannya agar berjalan sendiri. Namun, ada makhluk jahat bernama masa silam yang membelit kenangan orang-orang seperti dirinya dan tidak ingin lepas: kisah horor di tengah laut. Kenangan buruk itu bahkan terbawa sampai alam mimpi.
   Malam itu saya memang sengaja datang ke kamp pengungsi tengah malam, saat pengungsi terlelap. Saya ingin tahu kondisi para pengungsi ketika tidur. Sebab, dalam teori psikologi, tingkat stres dan trauma seseorang bisa terlihat dari cara mereka tidur.
   Meski terpejam, sayup-sayup terdengar igauan pengungsi yang menangis, meringis, meminta tolong, atau menyebut nama-nama keluarga. Hal itu dialami pengungsi beragam usia, dewasa hingga balita, perempuan serta laki-laki.
   ’’Itu adalah momen yang mengerikan. Benar-benar mengerikan. Saya tidak ingin lagi mengingatnya,’’ ujar Ali lantas menengadah.
   Setelah terkatung-katung selama 41 hari di tengah laut dari Myanmar hingga terdampar di Aceh, perahu yang disesaki 363 pengungsi Rohingya itu mendapat tambahan 558 pengungsi lain dari tiga perahu kecil yang berdatangan. Kebanyakan adalah warga Bangladesh dewasa yang juga meninggalkan negara mereka.
   Kondisi itu diperparah kaburnya kapten kapal dan smugglers (penyelundup orang) yang meninggalkan mereka. Kapal pun terombang-ambing di tengah laut tanpa arah dan tujuan. ’’Meski begitu, kami bersahabat dengan mereka. Saling membaur dan berinteraksi,’’ tutur Ali.
Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut, persediaan air dan makanan makin lama makin habis. Untung, beberapa kali nelayan lokal serta kapal TNI-AL Indonesia dan Malaysia datang memberikan bantuan makanan. Namun, setelah itu, mereka pergi dan membiarkan 921 pengungsi tersebut kembali terkatung-katung di tengah laut.
   ’’Stok air tinggal empat botol. Itu pun hanya untuk perempuan dan bayi-bayi kami. Namun, Bangla (orang Bangladesh, Red) marah tidak bisa menerima. Gara-gara itu, di dek kapal, orang jadi terbagi dua. Mereka di depan, kami di belakang bersama anak-anak dan para perempuan,’’ ungkap satu-satunya pengungsi Rohingya yang bisa berbahasa Inggris tersebut.
   Senja yang jingga mulai turun di Selat Malaka. Matahari berbinar dan tempias ombak yang relatif tenang. Namun, di atas dek kapal, ketenangan itu sama sekali tidak terasa. Tiba-tiba saja, kata Ali, terjadi tawuran masal di sana. Dek kapal yang hanya berukuran 10 x 20 meter itu jadi arena saling bantai. Kayu, besi, pisau, parang, dan tombak mereka gunakan untuk menghabisi lawan.
   Para lelaki yang takut berkelahi memilih mencebur ke laut. Setelah itu, nasib mereka tidak diketahui. Para perempuan dan anak-anak tidak henti menjerit histeris di bagian belakang. Kalah jumlah, para pengungsi Myanmar pun terdesak. Setelah itu, yel-yel ’’Joy Bangla (Kejayaan untuk Bangladesh, Red)’’ bergema di atas kapal. Perkelahian tersebut berakhir setelah puluhan korban berjatuhan.
   ’’Ada 93 orang Myanmar yang terbunuh. Sembilan di antaranya perempuan. Mayat-mayat yang masih di atas dek langsung dibuang ke laut,’’ jelas Ali.
Menurut Maynubbin, 23, pengungsi Bangladesh, sebenarnya persoalan yang menyulut perkelahian itu hanya sepele. Orang Bangladesh meminta air minum, namun tidak diberi.
   ’’Jika mereka (Myanmar, Red) memberi kami air, hal itu tidak akan terjadi. Sebab, sebelumnya kami berhubungan baik di atas kapal. Sungguh menyedihkan, kami saling membunuh karena hal sepele. Ada sekitar 50 orang Bangla yang tewas gara-gara kejadian itu,’’ ucap Maynubbin yang mengaku memilih mencebur ke laut daripada bertarung di atas kapal.
   Di antara puluhan anak yang menyaksikan kengerian di atas kapal itu, Jamal Husein, 8, hanya bisa menangis dan bersembunyi di balik kayu di dekat ruang kapten. Dia menangis sambil mendekap adiknya, Rizuana, 3, yang ketakutan.
   Dalam tawuran masal di kapal itu, ayah, ibu, dan dua saudara Jamal terbunuh oleh amukan orang Bangladesh. Mayat mereka di buang ke laut. Bahkan, memori Jamal masih ingat dengan sangat dalam adegan per adegan.
   ’’Mereka memukul ayahku dengan kayu dan pisau. Ibu dan saudaraku yang berusaha menyelamatkan ayah dibunuh juga oleh mereka. Setelah keluargaku meninggal, mereka membuang mayatnya di laut,’’ ungkap Jamal lirih seperti diterjemahkan Ali.
   ’’Saya hanya bisa menangis dan menangis mengingat ayah dan ibu,’’ lanjutnya memelas.
Zaqiz Hussein dan Nomu Begum, orang tua Jamal, adalah pasangan petani miskin di Pompaja, Myanmar. Dengan modal nekat, Zaqiz hendak membawa istri dan empat anaknya merantau ke Malaysia. Mencari kehidupan baru. Tetapi, siapa sangka, nasib telah memisahkan mereka dari dua anak mereka yang masih kecil-kecil.
   ’’Saya tidak tahu harus ke mana. Saya tak punya saudara di sini,’’ kata Jamal.
Manu, gadis 18 tahun, yang merasa iba akhirnya merawat Jamal dan Rizuana. ’’Saya tidak mengenal Jamal dan Rizuana. Tetapi, kami berasal dari distrik yang sama. Jadi, mereka akan bersama saya selamanya,’’ tegasnya.
   Kematian keluarga Jamal dilihat langsung oleh Manu. Dia hanya bisa diam, bersembunyi dan mengintip dari celah-celah dinding kayu kapal. ’’Kami seluruh perempuan hanya bisa diam. Takut. Tidak ada yang berani melawan.’’
   Saat orang tua Jamal tewas, pada waktu bersamaan, Hasima Begum, 18, berusaha mempertahankan hidup. Seorang warga Bangladesh mendekatinya dan hendak melemparkannya ke luar perahu. Namun, Hasima bisa berpegangan di tiang kayu dengan erat. Frustrasi, lelaki Bangladesh itu hanya memukul kepalanya dan melenggang pergi.
   Namun, bukan itu yang membuat Hasima akhirnya mendendam. Beberapa menit sebelumnya, dengan mata kepala sendiri, dia menyaksikan dua adiknya yang berusia 17 tahun, Amma Haizun dan Januaza, meregang nyawa setelah dipukul dengan besi di kepalanya.
   ’’Saya tidak tahu ketika itu adik saya masih hidup atau tidak. Sebelum saya sempat mendekati jenazahnya, mereka langsung mengangkat dan melempar tubuhnya ke laut,’’ ungkapnya sedih.
Kondisi semrawut di atas kapal juga membuat Muhammad Ami takut. Lelaki Rohingya berusia 48 tahun itu akhirnya memilih mencebur ke laut, menjauh dari kapal dan berenang 5 kilometer selama empat jam untuk mencari bantuan. Dia berenang di tengah kondisi laut yang gelap gulita karena waktu itu tidak ada sinar bulan sama sekali.
   ’’Setelah diselamatkan nelayan, saya langsung kembali ke kapal. Orang-orang Myanmar yang takut melihat saya langsung loncat ke laut. Begitu pula orang Bangladesh, mereka juga mencebur ke laut,’’ ujar Ami.
   Di kamp penampungan Kuala Langsa, dua kubu pengungsi yang dulu berseteru dan saling bunuh itu kini berkumpul. Meski begitu, dendam di antara mereka masih membara.
Kepada saya, Manu dan Hasima menyatakan masih ingat betul wajah-wajah yang menghabisi keluarga mereka di atas kapal. ’’Mereka ada di sini. Mereka hilir mudik dan sering bertatap wajah dengan saya. Kebencian kepada Bangla tidak akan mudah dihilangkan,’’ tegas Hasima.
   Hal yang sama dialami Jamal. Membayangkan bocah 8 tahun bertatapan dengan pembunuh keluarganya yang kini berkeliaran bebas merupakan hal yang amat mengerikan. ’’Dia ada di sini. Saya melihatnya. Saya takut kepada dia. Sangat takut,’’ katanya pelan.
   ’’Itu orang yang memukul saya. Itu orang yang melempar saudara saya ke laut. Itu orang yang menusuk teman saya dengan pisau,’’ ujar Abdul Rosyid, 35, warga Bangladesh yang tanpa takut menunjuk sekumpulan orang Rohingya yang duduk-duduk di sekitar kamp.
 
======== Ya Allah, kemana lagi mereka akan pergi jika mereka di usir dari negeri ini. wajarlah ketika mereka melihat nasi kemudian mereka menangis. Ya Allah, apa yang akan kami katakan jika mereka menuntut kami di pengadilanMu kelak?? =============================================
 

Comments

Popular posts from this blog

TANYA JAWAB SEPUTAR MEA (MASYARAKAT EKONOMI ASEAN)

1.     Apakah MEA? Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang sebelumnya telah dicanangkan dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area ) pada tahun 1992.   Pasar bebas ASEAN adalah gagasan World Trade Organization (WTO ) yang bertujuan untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang meniscayakan aliran barang, jasa, investasi, modal dan buruh terampil.   Tentu saja yang mampu memanfaatkan akses terbuka itu adalah negara, perusahaan dan individu yang memiliki daya saing tinggi.  2.     Apa sajakah potensi ASEAN? Secara geografis, negara-negara di Asia Tenggara memiliki karakteristik wilayah fisik yang beranekaragam. Negara-negara ASEAN terdiri dari negara kepulauan yang luas, semenanjung, daratan-benua, tidak-berpantai ( landlocked ) sampai negara kota. Ditinjau berdasarkan luas wilayah, negara-negara di kawasan tersebut mempunyai rentang dari negara kepulauan seperti Indonesia, sampai negara-kota seperti Singapura.

3 Pertanyaan Besar dalam Hidup (Uqdatul Kubra)

Ada 3 Pertanyaan Besar yang harus bisa dijawab oleh orang yang hidup. 3 pertanyaan ini seperti simpul besar, yang apabila ini bisa dijawab dengan benar maka ia akan bisa menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan lain dan menyelesaikan masalah-masalah hidupnya dengan benar. jawaban yang benar ini akan membuat kita merasakan ketenangan hati, terpuaskan akal kita dan sesuai dengan fitrah manusia. pertanyaannya yaitu: DARI MANA MANUSIA BERASAL?, UNTUK APA MANUSIA HIDUP DI DUNIA INI ?dan AKAN KEMANA KITA SETELAH KEHIDUPAN INI? coba deh kalian jawab. apa jawaban kalian. tulisan ini akan saya lanjutkan dengan jawaban yg insya Allah memuaskan.

Filosofi Lilin : Menerangi yang Lain tetapi Tidak Diri Sendiri

gambar dari https://billditewig.files.wordpress.com/2015/02/candle.jpg Janganlah menjadi seperti lilin, ia memberi cahaya bagi sekitarnya, tetapi membinasakan dirinya  sendiri -Izzah Haq-    pernah dengar kalimat seperti ini? "orang itu kalau menasehati bagus, tetapi sendirinya tidak melaksanakan". Atau yang semisal ,"dia selalu mengkritik kesalahan orang lain tetapi diri sendiri tidak diperhatikan".  Terkadang ada orang yang bijak dalam bertutur kata, lisannya adalah lisan seorang pengemban dakwah tetapi tingkah lakunya amat jauh dari apa yang diucapkannya. Ia mampu menasehati orang lain untuk berubah menjadi lebih baik, tetapi nasehatnya tidak ia laksanakan sendiri. Tidak Selaras antara perkataan dan perbuatan. Demikian kita bisa menyimpulkan, Berkaitan dengan ini Allah SWT menegur dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, diantaranya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu ker