(KH Hafidz Abdurrahman)
Ketika hati kita lupa, atau setidaknya terlena dari pengawasan Allah Dzat yang Maha Mengetahui yang gaib, terlena dari petunjuk-Nya, enggan menapaki jalan kebenaran, mengikuti hawa nafsu, mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya saat itu kita harus menginsyafi, bahwa hati kita tengah mendapatkan hukuman paling buruk dan berbahaya. Hati kita dihukum dengan penyakit hati, hati menjadi keras, dan membatu.
Padahal, sesungguhnya hukuman paling berat, yang menjadi ujian bagi manusia, adalah ketika hatinya menjadi keras dan membatu. Sahal bin ‘Abdillah menuturkan, “Tiap hukuman bisa membersihkan diri, kecuali hukuman terhadap hati. Karena ia justru menjadikannya keras.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’]. Ibn Mandzur berkata, “Hati menjadi keras ketika kelembutan, kasih sayang dan kekhusyu’an hilang dari hati.” [Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab]. Al-Qurthubi menuturkan, “Al-Qaswah [hati yang keras] itu identik dengan kaku, keras dan kering. Menggambarkan hilangnya ketundukan dan kepatuhan pada ayat-ayat Allah SWT.” [al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an].
Ketika hati menjadi keras dan membatu sesungguhnya itu pertanda derita. Ketika hati mengeras, mata sulit menangis, menjadi tamak kepada dunia, dan terlalu banyak berandai-andai. Begitu tutur Malik bin Dinar dalam az-Zuhd wa Shifatu az-Zahidin. Maka, “Maha Suci Allah, Dzat yang Menjadikan sebagian hati menjadi tenang dan tunduk kepada-Nya, dan sebagian lagi keras. Dia jadikan hati yang keras memiliki pertanda, begitu juga hati yang tenang dan tunduk [kepada-Nya].” Tutur Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah pun menuturkan pertanda hati yang keras dan membatu itu. Pertama, Allah mencela hati yang keras dan membatu itu dalam kitab-Nya, seraya menuturkan, bahwa hati yang keras dan membatu itu selalu menolak menerima dan melaksanakan kebenaran. Allah SWT berfirman:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاء وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّهِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Kemudian hati-hati mereka menjadi keras setelah itu, maka ia pun laksana batu, atau bahkan lebih keras lagi [ketimbang batu]. Padahal, sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang mengalirkan sungai-sungai darinya. Sungguh, di antaranya juga ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya. Sungguh, di antaranya juga ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa saja yang kamu kerjakan.” [Q.s. al-Baqarah: 74]
Ibn ‘Abbas ra. menjelaskan firman Allah di atas, “Wa inna min al-hijarah” [Sesungguhnya di antara batu-batu itu].” dengan menyatakan, “Artinya, di antara batu-batu itu ada yang lebih lunak ketimbang hati kalian. Hati kalian pun menolak kebenaran yang diserukan, sehingga kalian tidak mau memenuhi seruannya.” [Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir]. La haula wa la quwwata illa billahi al-‘aliyyi al-‘adzim.
Kedua, Allah pun mengancam para pemilik hati yang keras itu dengan azab yang pedih. Allah juga menjelaskan, bahwa kerasnya hati merupakan penyebab kita tersesat, dan hati kita terkunci. Allah SWT berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ فِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Maka celakalah, bagi orang-orang yang hatinya kering dari mengingat Allah.
Mereka itu berada dalam kesesatan yang nyata.” [Q.s. az-Zumar: 22]Hatinya tidak mau tunduk kepada kitab-Nya, tidak mau mengingat ayat-ayat-Nya, tidak tenang dan tenteram dengan mengingat-Nya. Bahkan, hatinya enggan menerima tuhannya, dan berpaling kepada yang lain. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar celaka, dan dalam keburukan yang besar.
Begitu pula ketika mereka disebut “berada dalam kesesatan yang nyata”, maksudnya mereka berada dalam kesesatan paling berat dari orang yang berpaling dari pelindungnya, dari tiap kebahagiaan yang menghampirinya, hatinya kering dari mengingat-Nya, akhirnya ia pun menuai apa saja yang membahayakan dirinya.
Ketiga, hati yang keras adalah hati yang imannya paling lemah, paling cepat menerima perkara syubhat, dan gampang terjatuh dalam kesesatan dan fitnah. Allah berfirman:
لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم
مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيد
“Agar Dia jadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu sebagai cobaan bagi
orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, dan hatinya kasar. Sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang luar biasa.” [Q.s.
al-Hajj: 53]Makna, “Wa al-qasiyatu qulubuhu” maksudnya, hati mereka keras dan kaku. Diingatkan dan dicegah pun tidak mempan. Karena kebekuan dan kekerasan hatinya itu, ia pun tidak memahami Allah dan rasul-Nya. Ketika mereka mendengar bisikan syaitan, mereka pun menjadikannya sebagai argumen untuk menguatkan kebatilan perilaku mereka. Mereka pun berusaha meruntuhkan argumen pihak lain, bahkan berani menentang Allah dan Rasul-Nya. Begitulah ciri-ciri mereka.
Keempat, kehilangan nikmat, sebaliknya ditimpa berbagai musibah, kesengsaraan dan kebinasaan. Allah menuturkan:
وَلَقَدْ أَرْسَلنَا إِلَى أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاء
وَالضَّرَّاء لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ، فَلَوْلا إِذْ جَاءهُمْ بَأْسُنَا
تَضَرَّعُواْ وَلَـكِن قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا
كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul kepada umat-umat sebelum kamu,
kemudian Kami siksa mereka dengan menimpakan kesengsaraan dan kemelaratan,
supaya mereka memohon kepada Allah, dengan tunduk dan merendahkan diri. Maka,
mengapa mereka tidak memohon kepada Allah, dengan tunduk dan merendahkan diri
ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi
keras, dan syaitan pun menampakkan diri kepada mereka keindahan apa yang selalu
mereka lakukan.” [Q.s. al-An’am: 42-43] Maka, hati mereka yang beku, kasar dan membatu itulah yang membuat Allah menimpakan berbagai kesengsaraan, kesusahan dan siksa-Nya, karena kebekuan dan kerasnya hati mereka telah menghalangi mereka untuk tunduk dan patuh kepada-Nya. Alangkah pedihnya, ketika hati kita membeku dan mati, saat secara fisik kita masih hidup di alam fana ini. Hidup pun terasa hampa, meski berbagai nikmat materi berlimpah. Puja-puji dan popularitas menyertai kita, tetapi kebahagiaan hidup jauh dari kita.
Iya, itulah derita yang dialami oleh siapapun ketika hatinya hampa. Hampa, karena hatinya keras, kering-kerontang dan membeku. Penderitaan ini bisa dialami oleh siapapun. Maka, Allah SWT pun menurunkan penawar hati dari derita ini. Banyak mengingat Allah, dan membaca al-Qur’an, merupakan penawar hati:
لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعاً
مُّتَصَدِّعاً مِّنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Andai saja Kami turunkan al-Qur’an ini kepada gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk dan luruh karena takut kepada Allah. Begitulah perumpamaan
yang Kami berikan untuk menusia, agar mereka berpikir.” [Q.s. al-Hasyr: 21]Kalau gunung batu yang keras saja bisa luruh, ketika khusyu’ dan takut kepada Allah, tentu hati manusia lebih luruh lagi ketika membaca al-Qur’an dan mengingat Allah SWT. Begitu dahsyat pengaruh al-Qur’an terhadap hati kita. Karena, mau’idhah al-Qur’an merupakan mau’idhah yang paling agung dan dahsyat. Titah dan larangannya berisi hukum sekaligus kemaslahatan yang tak terbantahkan. Hati pun dengan mudah tertaut dengannya, begitu juga raga kita. Dengan mendengarkan, memahami dan menghayati maknanya, hati kita pun tenteram. Itulah al-Qur’an, obat penawar hati.
Ziarah kubur, mengingat kematian dan akhirat, menjenguk orang sakit, dan sikap zuhud juga menjadi penawar hati yang keras. Nabi saw. menuturkan, “Ziarahlah ke kubur, karena kubur-kubur itu bisa mengingatkan kalian kepada akhirat.” [H.r. Muslim]. Dalam riwayat lain, Nabi saw menuturkan, “Perbanyaklah mengingat perusak kenikmatan [kematian].” [H.r. at-Tirmidzi]. Al-Manawi memberikan resep, “Obat kerasnya hati yang paling kuat adalah ziarah kubur, merenungkan kondisi orang yang dikubur, bangkit dan dikumpulkannya kita setelah itu.”
Suatu ketika ada seseorang datang menghadap Nabi saw, dia mengeluhkan hatinya yang keras. Nabi saw. pun memberikan resep, “Maukah kamu agar hatimu menjadi lunak dan kamu tahu apa yang kamu butuhkan? Kasihilah anak yatim, usaplah kepalanya, berilah dia makan dengan makanan yang kamu makan, maka hatimu akan lunak, dan kamu pun tahu apa yang kamu butuhkan.” [H.r. at-Thabrani]
Al-Mulla ‘Ali al-Qari menjelaskan, “Usaplah kepala anak yatim, agar kamu mengingat kematian, sehingga kamu bisa mereiah kebaikan hidup. Sebab, hati yang keras sumbernya adalah kelalaian. Berilah makan orang miskin, agar kamu bisa melihat bagaimana efek dari nikmat Allah kepada-Mu, dimana Dia telah menjadikanmu cukup, sementara orang lain lebih membutuhkanmu, maka itu bisa melembutkan hatimu, dan menghilangkan kebekuannya.” Begitulah, Nabi saw. mengajarkan kasih sayang untuk mengobati hati kita dari derita.
Tsabit al-Bannani rahimahu-Llah menuturkan, “Sungguh aku tahu, kapan doaku dikabulkan.” Orang bertanya kepadanya, “Dari mana Anda mengetahuinya?” Beliau menjawab, “Saat kulitku merinding, hatiku bergetar, air mataku bercucuran, saat itulah doaku akan dikabulkan.” Sebagaiman sabda Nabi, “Allah tidak akan menerima doa dari hati orang yang lalai.” Ibn Mas’ud ra menuturkan, “Carilah hatimu dalam empat tempat [keadaan]. Ketika mendengarkan al-Qur’an, majelis-majelis dzikir, waktu-waktu shalat dan saat menyendiri di tengah malam. Jika kamu tidak menemukannya, maka mintalah kepada Allah untuk memuliakan kamu dengan hati. Karena, sesungguhnya kamu tidak memiliki hati.”
Hati kita bisa menderita sakit, sebagaimana fisik kita. Obat hati kita yang sakit itu adalah taubat. Hati kita pun merasakan lapar dan dahaga, maka makanan dan minumannya adalah cinta dan kembali kepada-Nya. Ia pun telanjang, sebagaimana raga kita, maka pakaiannya adalah takwa. Bisa pula pusing, seperti kepala, dan obatnya adalah istighfar. Begitulah obat penawar derita hati kita.
Semoga Allah menghidupkan hati kita, memenuhinya dengan kelembuhtan, kasih sayang, dan cinta kepada-Nya. Menjauhkan sejauh-jauhnya dari derita dan nestapa.
Ya Allah, hidupkanlah hati-hati kami, sebagaimana Engkau hidupkan hati-hati hamba-Mu yang shalih dan taat.
Comments
Post a Comment