Orang bilang mereka kembar. Tetapi sejak pertama kali aku mengenal mereka aku tahu, mereka kembar yang berbeda. Wajah mereka, sikap mereka terutama gaya mereka. Hanya satu kesamaan yang ku tahu, mereka adalah sahabatku; sahabat kecilku.
Keluarga ku pindah dari Ngalian, Jawa Tengah ke rumah nenek di ujungpandang. Persis di depan rumahku ada anak yang seusia denganku, mereka si kembar, ku sebut mereka Durian dan Kura-kura dan seorang adik kecil mereka yang juga seumuran dengan adikku. Sejak usiaku 4 tahun kala itu hingga masuk SD, teman terdekatku hanya mereka berdua. Si Durian dan Kura-kura.
Kami main bersama dari pagi hingga petang, dari main masak-masakan, pukul-pukulan, hingga kejar-kejaran. Ketika orang tuaku pergi maka mereka berdualah yang menemani kami main di rumah. Sebaliknya juga berlaku, jika orang tua mereka pergi kami akan main di rumah mereka. Orang-orang bahkan menyebut kami si 4 bersaudara saking selalunya bersama; aku, adikku, durian dan kura-kura.
Suatu hari ayah mereka pergi ke kalimantan namun setelah beberapa tahun aku tak juga melihatnya kembali.
“kapan ayah mu pulang?” pernah aku bertanya pada mereka. Namun mereka menjawab murung, “tidak tahu...”, maka sejak saat itu akku tak pernah menyinggung-nyinggung tentang keberadaan ayahnya yang tak kunjung kembali bahkan hingga hari ini. Tetapi sebagaimana kanak-kanak lain yang belum mengerti arti kehilangan, mereka tetap seperti biasanya, tetap ceria dan tetap menjadi teman bermainku yang setia. Bahkan hingga saat mereka memiliki ayah baru.
“hei Durian, tahu tidak mengapa aku memanggilmu Durian?”, tanya ku yang lagi menggelayuti dahan pohon.
“kenapa memangnya?” ia balik tanya.
“karena rambut kamu berduri seperti durian”, jawabku asal. Tetapi ia tak pernah protes aku memanggilnya Durian.
“kalau aku, kenapa aku dipanggil kura-kura.” si Kura-kura turut bertanya
“karena jalan kamu lambat seperti kura-kura... hehe”, dan lagi seperti kembarannya, kura-kura tak juga protes.
Ketika kelas 3 SD aku sering kali di jahili teman cewek di kelasku. Kura-kura yang saat itu sekelas denganku serta menjabat sebagai ketua kelas, segera bertindak menolongku dan balas memukul orang-orang yang mengerjaiku. Walhasil karena beberapa dari mereka mengadu, aku dan kura-kura dimarahi oleh guru.
“ Rian, kenapa kamu memukul mereka balik.?”, tanya wali kelasku
“saya hanya melindungi izzah bu, saya sudah berjanji pada ibunya untuk menjaga dia”.
Waktu terus berjalan dan kami pun semakin besar. Semakin banyak teman, banyak bergaul dan berfikir. Perbedaan teman membuat jarak diantara kami merenggang, aku dengan teman wanitaku dan mereka berdua dengan teman laki-lakinya. Kami jadi jarang pulang dan pergi bersama lagi hingga akhirnya tidak pernah sama sekali.
Masuk sekolah menengah meski kami kembali satu sekolah tetapi kami tak lagi saling menyapa, tak lagi bermain bersama, seakan tak saling mengenal.
Aku pulang dari sekolah sendiri berjalan kaki. Langkah ku cepat-cepat seperti biasanya. Tak begitu jauh di depanku adda dua anak lelaki berseragam sama dengan seragamku sedang berjalan saantai. Satunya jalan sambil menendang-nendang bola dan yang satunya lagi sedang menikmati sebatang rokok.
Aku mencoba berjalan tetap di belakang mereka tanpa suara. Suaraku ingin memanggil mereka tetapi seperti tercekat di kerongkongan. Otakku memutar pemandangan yang sama, di tahun-tahun yang berbeda. Saat kami jalan pulang bertiga; aku, Durian dan Kura-kura.
rasanya aku ingin memundurkan waktu ke masa itu....
Comments
Post a Comment