Masih sepertiga malam. Aku
kembali menyapa sajadah dan mukena yang terlipat rapi di atas meja serta
dinginnya air keran yang menyentuh permukaan kulit. Senyap. Tetapi senyap yang
menenangkan. Dimana kesendirian tak menjadi menyesakkan. Ya, hanya sepertiga malam
ini kesepian menjadi teman akrab yang menentramkan. Hanya di sepertiga malam
terakhir sebelum fajar: kesempatan tuk berdua bersama Tuhan.
Fatimah terjaga ketika mukena
dan sajadah telah terlipat kembali. Tepat saat aku hendak memasak lauk-pauk tuk
didagangkan pagi harinya.
“ummi…”, terdengar rengekan dari
Fatimah kecil
“Assalamu’alaikum, anak ummi
sudah bangun tapi kok nggak beri salam?” ucapku dari arah dapur.
“huuuhu… ummi jahat….”, Fatimah
mengeraskan tangisannya.
Aku bergegas menuju ke kamar.
“lho, kok ummi dibilang jahat?
Memangnya ummi salah apa?” tanyaku.
“ummi jahat karena ummi nggak
bangunin Fati, Fati kan pengen shalat malam juga…, nanti Allah nggak mau deket
sama Fati, Fati kan juga mau jadi orang pilihannya Allah… mau disayang sama
Allah…”
Jessh! Terenyuh hatiku seketika.
Benar, kamarin aku berkata akan membangunkan Fati. Allah! Aku telah mengingkari
perkataanku sendiri. Astagfirullah.
“maafkan ummi Fati, ummi lupa
kalau Fati juga mau shalat malam.” Ucapku seraya mengelus kepalanya.
“terus Fati gimana dong
sekarang?” ucapnya polos.
“Fati masih bisa shalat, Adzan
subuh belum kedengaran.”
“bener umi?”
“iya”, dan langsung saja, segera
ia bergegas turun dari ranjangnya dan megambil air wudhu.
aku bersyukur pada Allah diberi seorang anak
seperti Fati. Akulah yang mengatakan tentang kenikmatan shalat malam dan ia
dengan antusiasnya ingin dibangunkan di sepertiga malam terakhir ini. Dan
lihatlah sekarang. Bagaimana ia shalat. Saat usianya 3 Tahun ia telah menghafal
bacaan shalat dan beberapa surah pendek. Aku pernah mendengar bahwa kemampuan
maksimal otak anak justru berada pada umur 3 tahun. Dan lihat, bagaimana kini
ia sujud dengan sempurna. Usianya sekarang menginjak 4 tahun. Abi, lihatlah
anakmu… seorang bayi yang dulu tiap malam sengaja kau bangunkan saat sepertiga
malam terakhir. Yang suara tangisannya memecah kesunyian sepertiga malam
terakhir. Tapi belum genap usianya 2 tahun kau telah menemui Rabbmu.
Adzan subuh terdengar
bersahut-sahutan. Saat itu Fati juga telah selesai berdo’a.
“ummi, Hayya ‘Alassholah!”,
ucapnya dari balik mukenanya yang putih.
“ya, hayya ‘Allassholah..”
****
Aku meletakkan selebaran
Al-Islam di atas meja. Tak jarang beberapa pembeli jajanan yang mampir ini ku
ajak berdiskusi tentang isi bulletin itu atau mengenai kondisi ummat hari ini.
Waktu beranjak sore namun sedari
tadi aku tak melihat Fatimah diwarung sejak kepulangannya dari TK. Biasanya ia
selalu beramain disini bersama teman-temannya.
Aku masuk kedalam rumah dan
terdiam melihat pemandangan didepan mataku. Diruang tamu ini aku melihat
Fatimah bersama teman-temannya. Tidak dengan masak-masakan, atau boneka milik
temannya, mereka duduk melingkar, saling berdiskusi.
“Assalamu’alaikum,, lagi main
apa nih?”, tanyaku.
Seketika mereka menoleh, para
gadis cilik dengan jilbab dan kerudung kecil ini menyahut, “main
halaqoh-halaqohan.”, lalu terdengar tawa riang mereka.
Aku tersenyum.
“ya sudah, silahkan
dilanjutkan.” Kataku.
Lalu mereka kembali pada
‘permainan’ mereka. Aku melihat Fati menerangkan dengan gaya seorang musrifah
handal, dan 4 orang anak tetangga yang memakai jilbab dan kerudung Fati. Di
ruang tamu ini memang sering menjadi tempat halqohku dan beberapa ibu-ibu yang
ku kontak disekitar sini.
Aku tahu anak-anak ini
mengamati. Dan kebanyakan dari para anak-anak ini mencontoh apa yang
diperlihatkan oleh orang-orang sekitar mereka.
****
Fati pulang dari sekolahnya.
Mengucapkan salam lalu diam. Tidak seperti biasanya.
“ada apa Fati?” tanyaku melihat
sendu diwajahnya.
“ummi… apa kalo kita miskin,
ummi akan racunin Fati?”. Aku terkejut mendengar pertanyaan itu.
“kenapa Fati bicara seperti
itu?. Mana mungkin ummi berbuat seperti itu?! Semiskin apapun ummi, ummi tidak
akan meracuni anak ummi sendiri. Allah akan murka terhadap ibu yang seperti
itu. ”. ucapku.
“tadi waktu pulang Fati mampir
minum di rumahnya Tina, terus liat TV. Di TV Fati dengar ada ibu yang meracuni
anaknya karena tidak punya uang. Kenapa bisa seperti itu ya, ummi? Kenapa ibu
itu tidak seperti ummi?”. Ucapnya sambil menatapku meminta jawaban.
“karena ibu itu tidak tahu Rezki
itu datangnya dari Allah. Miskin bukan alasan untuk membunuh anaknya sendiri.
Ibu itu tidak ingat Allah, makanya seperti itu. Apalagi kita tidak punya
pemimpin seperti ummar bin khoththab dan umar bin abdul Aziz. Makanya kita
butuh khilafah.” Jelasku.
“iya ya, ummi. Coba kita punya
pemimpin seperti Ummar bin khaththab yang setiap malam berkeliling mencari
orang-orang yang tidak bisa makan dan memberi sendiri makanan itu. Atau ummar
bin abdul aziz yang membuat semua orang-orang tidak ada yang miskin dan
kesusahan. Sekarang orang-orang banyak yang miskin ya, ummi? Karena tidak ada
khilafahkan?” perkataan itu meluncur begitu saja. Dari bibir kecilnya.
“betul sekali. Anak ummi memang
cerdas. Makanya Fatimah harus jadi orang yang meneggakkan khilafah biar tidak
ada lagi ibu yang membunuh anaknya sendiri”.
“Iya ummi, Fati pengen jadi
pejuang khilafah.” Ucapnya berapi-api.
Dalam hati aku mengamininya. ‘ya
Aziz, jadikanlah anak-anak generasi kaum muslimin menjadi seperti singa yang
berjuang digarda terdepan demi agamaMu.’ amiin
Wow, great!
ReplyDeleteditunggu part selanjutnya ukhti.... :D