Ayah, bagaimana jikalau seandainya kehidupan ini sandiwara
belaka?
Bumi ini hanyalah seperti panggung tempat pementasan drama,
Dan kita memainkan lakon didalamnya.
Tentu saja kau sebagai ayahku, dan aku adalah anakmu.
Ayah, jikalau seandainya kita hanya pemain sandiwara,
Maka penonton pasti tak sudi melihat kita,
Ayah, sebuah nama yang disandangkan untukmu,
Dan aku harus menyebutmu begitu,
Anak, sebuah tokoh yang diperankan olehku,
Dan kau harus menganggapku begitu.
TAKDIR, inilah judul sandiwara yang kita mainkan.
Tetapi yah, kau tak pantas memainkan peran itu.
Tidak, aku salah, bukan tak pantas, hanya saja kau belum
terlalu mahir.
Berlakulah yang pantas dipanggung ini,
Agar penonton tak ada yang pulang.
Ayah, mungkinkah kau ingin segera akhiri sandiwara ini?
Agar kau bisa menjadi seperti yang kau ingini,
Seperti burung yang lepas dan terbang bebas di udara.
Tetapi sayangnya, panggung ini bukan langit.
Ayah, tirai ini ditutup, adalah sebuah keniscayaan.
Sandiwara ini akan berakhir.
Tapi sayangnya kau tak bisa begitu saja bebas.
Akan ada sesi evaluasi
Dimana peranmu kan diberi upah,
Atau malah kritikan dan ganjaran.
Ayah, apa kau tak suka dengan peranmu?
Atau karena aku yang membuatmu menjadi tak suka?
Ayah, aku ingin memberitahumu,
Jika suatu saat nanti tirai ini tertutup,
Aku tak keberatan tetap pergi membawa nama itu.
“anak ayah”…
Dan mungkin sepucuk rindu bekas pentas kan tetap melekat.
Bahwa aku ingin tetap memainkan peran ini,
Bahkan jika sandiwara ini telah berakhir…
Seribu
rindu tuk ayah
Ini... inspirasinya dari mana?
ReplyDelete