Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2016

Perjalanan

Setiap perjalanan pasti ada akhirnya. Ujung jalan telah menunggu, dengan pasti. Hanya saja, kita tidak tahu kapan akan berhenti. Adalah gerak dan waktu, yang akan menjawab segala tanya. Kita hanya terus berusaha melangkah, senantiasa. Seseorang tidak akan di tanya, kapan ia akan sampai di ujung jalan. Namun, ia akan di tanya: "sudah seberapa jauh kaki melangkah untuk sampai di ujung jalan sana?" Seperti itulah jalan para pejuang. Pejuang tidak tahu sampai kapan ia harus senantiasa berjuang. Yang ia tahu hanya berjuang, berjuang dan berjuang. Kerikil, duri dan bebatuan tak jarang menyertai, baginya ini bukan penghalang. Sampai ia berhasil mencapai ujung jalan, ataukah Sang Pemilik Waktu berkata: "ini saatnya kau pulang". Lalu, muncul tanya dalam gelisah. Siapa gerangan sang pejuang yang selalu tabah dalam perjalanan menuju akhir kisah? Siapa? Jawabnya adalah mereka. Mereka yang selalu menjunjung tinggi kalimah-Nya. Berjuang untuk meninggikan syar

Allah SWT, Kemudian Surga!

Saat menengok sejarah kehidupan para Sahabat, kita akan mendapati bahwa mereka adalah orang-orang yang begitu antusias memenuhi serua n menjadi penolong agama Allah. Tekad mereka menjadi pejuang Islam dan pembela akidah telah nyata tercatat dalam tinta emas sejarah kehidupan ini. Abdurrahman Ra’fat al-Basya pernah mengumpulkan kisah-kisah para Sahabat tadi dalam sebuah buku yang ia beri judul “65 Manusia Langit”. Ya, manusia langit. Tidak berlebihan jika sematan manusia langit ini diberikan kepada mereka sebab kontribusi para sahabat tadi dalam menolong agama Allah begitu luar biasa. Tengoklah kisah Sahabat bernama Al-Bara’ bin Malik al-Anshary. Mengenai beliau, Umar bin al-Khaththab ra. bahkan pernah berkata, “Janganlah kalian tunjuk Al-Bara’ menjadi Amir dalam pasukan kaum muslim karena dikhawatirkan ia dapat mencelakakan tentaranya karena ingin terus maju.” Apa yang disebutkan Umar memang bukan tanpa alasan. Pada peperangan Yamamah, perang antara kaum muslim dan pasuk

Ruginya Pacaran

“Gua bosan ama lu, ma”, “apa?” “lu pikir kalian bakal awet kayak emak dan bokap lu? Lu mikir dong. Mereka awet karena ikatan pernikahan. Bukan ikatan pacaran. Akhir dari pernikahan ya cerai atau maut yang memisahkan. Akhir dari pacaran, ya putus. Mau ngarepin pacaran awet? ya lu kayak mimpi di siang bolong.” “jadi lu bosan jadi teman curhat gue? Jahat lu, ce” “abisnya ending kisah lu gini mulu. Diputusin lagi. Gua ngitungin elu udah 7 kali pacaran, gonta-ganti cowok. Ending-endingnya elu kan yang sakit hati. Karena elu cewek, dan dalam hubungan pacaran, pihak cewek pasti selalu yang dirugikan. Gue sebagai teman curhat udah tau apa aja yang elu kasih ke cowok-cowok lu, seberapa besar rugi lu karena pada akhirnya cowok-cowok itu pergi menghilang entah kemana. Mereka mah gak rugi, tapi elu? Elu tak ubahnya barang yang dimanfaatin ketika doyan, kalo udah bosan ya dibuang.” “sadis banget sih kata-kata lu. Sebagai cewek elu harusnya care sama gua. Kok malah ngehujat gua.” “g

merdeka?

semarak merah-putih menjadi warna dominan, di bulan agustus tahun ke sekian kali ini bilangannya 71, 71 tahun merdeka, katanya aku tak tahu, apa yang sedang mereka rayakan, dalam upacara yang sakral, menghormat pada sebuah bendera, yang diperjuangkan dahulu oleh darah-peluh para pejuang bagiku, tahun ini sama saja, seolah meyakinkan padahal ragu, merdeka katamu? aku masih melihat seorang anak mengayuh becak dengan peluh di keningnya, di saat teman seusianya sedang berseragam rapi menghadap sang saka dan, mari kita tanyakan padanya apa arti merdeka untuknya. 17 Agustus 2016, kita masih belum merdeka