Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2013

Fatimah anak ummi

                Masih sepertiga malam. Aku kembali menyapa sajadah dan mukena yang terlipat rapi di atas meja serta dinginnya air keran yang menyentuh permukaan kulit. Senyap. Tetapi senyap yang menenangkan. Dimana kesendirian tak menjadi menyesakkan. Ya, hanya sepertiga malam ini kesepian menjadi teman akrab yang menentramkan. Hanya di sepertiga malam terakhir sebelum fajar: kesempatan tuk berdua bersama Tuhan.                 Fatimah terjaga ketika mukena dan sajadah telah terlipat kembali. Tepat saat aku hendak memasak lauk-pauk tuk didagangkan pagi harinya.                 “ummi…”, terdengar rengekan dari Fatimah kecil                 “Assalamu’alaikum, anak ummi sudah bangun tapi kok nggak beri salam?” ucapku dari arah dapur.                 “huuuhu… ummi jahat….”, Fatimah mengeraskan tangisannya.                 Aku bergegas menuju ke kamar.                 “lho, kok ummi dibilang jahat? Memangnya ummi salah apa?” tanyaku.                 “ummi jahat karena ummi

Ayah

Ayah, bagaimana jikalau seandainya kehidupan ini sandiwara belaka? Bumi ini hanyalah seperti panggung tempat pementasan drama, Dan kita memainkan lakon didalamnya. Tentu saja kau sebagai ayahku, dan aku adalah anakmu. Ayah, jikalau seandainya kita hanya pemain sandiwara, Maka penonton pasti tak sudi melihat kita, Ayah, sebuah nama yang disandangkan untukmu, Dan aku harus menyebutmu begitu, Anak, sebuah tokoh yang diperankan olehku, Dan kau harus menganggapku begitu. TAKDIR, inilah judul sandiwara yang kita mainkan. Tetapi yah, kau tak pantas memainkan peran itu. Tidak, aku salah, bukan tak pantas, hanya saja kau belum terlalu mahir. Berlakulah yang pantas dipanggung ini, Agar penonton tak ada yang pulang. Ayah, mungkinkah kau ingin segera akhiri sandiwara ini? Agar kau bisa menjadi seperti yang kau ingini, Seperti burung yang lepas dan terbang bebas di udara. Tetapi sayangnya, panggung ini bukan langit. Ayah, tirai ini ditutup, adalah seb