Masih sepertiga malam. Aku kembali menyapa sajadah dan mukena yang terlipat rapi di atas meja serta dinginnya air keran yang menyentuh permukaan kulit. Senyap. Tetapi senyap yang menenangkan. Dimana kesendirian tak menjadi menyesakkan. Ya, hanya sepertiga malam ini kesepian menjadi teman akrab yang menentramkan. Hanya di sepertiga malam terakhir sebelum fajar: kesempatan tuk berdua bersama Tuhan. Fatimah terjaga ketika mukena dan sajadah telah terlipat kembali. Tepat saat aku hendak memasak lauk-pauk tuk didagangkan pagi harinya. “ummi…”, terdengar rengekan dari Fatimah kecil “Assalamu’alaikum, anak ummi sudah bangun tapi kok nggak beri salam?” ucapku dari arah dapur. “huuuhu… ummi jahat….”, Fatimah mengeraskan tangisannya. Aku bergegas menuju ke kamar. “lho, kok ummi dibilang jahat? Memangnya ummi salah apa?” tanyaku. “ummi jahat karena ummi
inilah kebebasan yang hakiki, tak terkekang nafsu dan keinginan, hanya tulus penghambaan